Dec 4, 2008

Pemikiran Pendidikan Ibnu Miskawaih

PEMBAHASAN

A. BIOGRAFI IBNU MISKAWAIH
Nama lengkapnya adalah Abu ‘Ali Ahmad Ibnu Muhammad Ibnu Ya’qub Miskawaih. Nama ini didasarkan kepada nama yang tertulis pada teks yang dimuat dalam kitab Tahzib al-Akhlaq wa Tathir al-A’raq (menghalusi Akhlak dan membersihkan keturunan). Ia terkenal dengan sebutan al-Khazin (pustakawan), karena ia dipercaya menangani buku-buku Ibnu al-‘Amid dan ‘Ahdu al-Daulah Ibnu Buwaihi. Tetapi ada yang berpendapat bahwa gelar tersebut berarti “bendaharawan”, yang diberikan kepadanya pada masa kekuasaan ‘Ahdu al-Daulah dari bani Buwaihi.Ia juga diberi gelar Abu ‘Ali, yang selalu digunakan di depan namanya, yang diperoleh dari nama sahabat Nabi yaitu Ali. Para penulis sepakat bahwa tempat kelahirannya adalah Ray (Teheran sekarang), tetapi mengenai tahunnya terdapat perbedaan, ada yang menyebutkan tahun 330 H/ 942 M, dan ada yang menyebutkan tahun 325 H dan ada juga yang memperkirakan tahun 320 H. sementara wafatnya pada tanggal 9 shafar 421 H/ 16 Februari 1030 M di kota Isfahan. Ibnu Miskawaih adalah keturunan orang Persia yang sebelumnya ada yang menyebutkan bahwa ia menganut agama Majusi kemudian masuk Islam, tetapi kebanyakan penulis menolak karena pikirannya tentang Islam sedemikian luas, yang tidak kalah dengan filsuf lain, khususnya dalam bidang akhlak.
Karya-karyanya cukup banyak dengan disiplin ilmu yang beragam. Dari berbagai karya tersebut, tidak diketahui dengan jelas kapan ia mulai menulis, bahkan sebagian karyanya ada yang masih dapat dilacak seperti kitab; Tahzib al-Akhlak wa Tathir al-A’raq (buku tentang jiwa dan etika), al-Fauz al-Asghar (Tuhan, jiwa dan Nabi), al-Sa’adah (etika dan politik), Tajarib al-Umam (sejarah mulai masa Nabi Nuh sampai tahun 369 H/ 979 M), Jawidan Khirad (ungkapan filsuf), Badi’ al-Zaman al-Humazani (kaidah syair), al-Mutaqaddimah al-Zikr (petuah beliau) dan Asy’ar (kumpulan syair).


B. CORAK DAN LATAR BELAKANG PEMIKIRAN IBNU MISKAWAIH
Perhatian Ibnu Miskawaih terhadap etika cukup besar, sehingga ia digelari guru ketiga (al-muallim atsalis) setelah Al-Farabi yang dikenal sebagai guru kedua, sedangkan guru pertamanya adalah Aristoteles. Bila dicermati karangannya yang menyangkut filsafat manusia, baik jiwa maupun etika, banyak merujuk kepada karya filsuf Yunani klasik, seperti Galen, Phytagoras, Socrates, Plato dan Aristoteles. Pada masa Ibnu Miskawaih, filsafat dan sains warisan Yunani tumbuh subur, sehingga kearifan Yunani mengalir ke wilayah Islam melalui Harran dan Syria. Ketekunannya dalam menguasai bidang filsafat etika dan sejarah, menjadikan ia dikenal sebagai seorang ahli sejarah dan moralis dalam arti yang sesungguhnya. Etika yang disusunnya bersifat agamis dan praktis. Bahkan ia merasa perlu mengubah akhlaknya sendiri sebelum ia menulis Tahzib al-Akhlak wa Tathir al-A’raq. Maka dari itu, ia kemudian dijuluki Bapak Etika Islam karena beliau adalah salah satu filsuf Muslim pertama yang mengemukakan teori etika, dan ia juga yang pertama menulis buku khusus tentang etika.
Ibnu Miskawaih membagi filsafat menjadi dua bagian; yaitu teoretis dan praktis. Bagian teoretis memberikan kesempurnaan intelektual kognitif, sedangkan bagian praktis memberikan kesempurnaan karakter. Kedua hal tersebut seperti bentuk (sarkh) dan materi (almadah), yang satu tidak akan lengkap jika tidak ditunjang yang lain, karena pengetahuan adalah permulaannya sementara perbuatan adalah akhirannya, sedang akhir tanpa permulaannya adalah mustahil.
Pandangan Ibnu Miskawaih tentang manusia tidaklah berbeda dengan filsuf Muslim lainnya. Menurutnya, manusia terdiri dari jasmani dan rohani atau jiwa yang mempunyai bentuk khusus. Manurut tabiatnya manusia dibagi menjadi tiga kelompok:
a. Manusia baik, yang sejak awal tabiatnya memang baik, dan tidak akan berubah menjadi jahat. Kelompok ini termasuk kelompok minoritas.
b. Manusia jahat. Kelompok ini sejak awal tabiatnya memang jahat, dan tidak akan berubah menjadi baik dalam arti yang hakiki. Kelompok ini menduduki kelompok yang mayoritas.
c. Manusia yang tidak termasuk kelompok pertama dan kedua. Kelompok ini bisa berubah menjadi baik dan juga bisa berubah menjadi jahat, yang disebabkan oleh faktor usaha, pendidikan, lingkungan dan pergaulan.
Sementara itu, bila dilihat dari segi kemampuan akalnya, Ibnu Miskawaih membagi manusia menjadi empat tingkatan, yaitu:
1. Manusia tingkat hewan,
2. Manusia indrawi,
3. Manusia intelektual, dan
4. Manusia filsuf atau manusia setingkat Nabi.

Bagi Ibnu Miskawaih jiwa adalah sesuatu yang ada pada diri manusia, yang bukan berupa dan bagian jasad dan bukan pula gharad (sifat beserta substansi), wujudnya tidak memerlukan potensi atau daya jasmani, tetapi ia adalah substansi yang tidak terdiri dari unsur, dan tidak dapat diindera.
Jiwa dan daya menurut Ibnu Miskawaih dibagi menjadi tiga bagian:
a. Jiwa rasional (an-nafs an-natiqah) yang memiliki daya pikir, yang disebut jiwa atau daya raja (mulukiyah), yang merupakan fungsi jiwa tertinggi, yang memiliki kekuatan berpikir dan melihat fakta dengan alat otak.
b. Jiwa apetitif atau binatang buas (an-nafs as-sab’iyah) yang memiliki daya marah, yaitu keberanian menghadapi resiko, ambisi terhadap kekuasaan, kedudukan dan kehormatan, yang menggunakan alat hati.
c. Jiwa binatang (an-nafs al-bahimiyah) dengan daya nafsu, yaitu daya hewani yang mendorong untuk makanan, minuman, kelezatan, seksualitas, dan segala macam kenikmatan indrawi, dan alat yang digunakan adalah jantung.

Dalam membahas jiwa, Ibnu Miskawaih selalu mengaitkannya dengan akhlak. Akhlak adalah peri keadaan jiwa yang mendorong untuk melakukan perbuatan tanpa dipikir dan dipertimbangkan terlebih dahulu. Dengan kata lain, akhlak adalah peri keadaan jiwa yang mendorong lahirnya aktivitas secara spontan. Peri keadaan jiwa itu dapat berupa naluri atau fitrah sejak lahir, dan juga dapat berupa latihan dan pembiasaan. Menurutnya, akhlak dapat diperbaiki melalui latihan dan pembiasaan.

C. DASAR PENDIDIKAN MENURUT IBNU MISKAWAIH
Dasar adalah landasan bagi berdirinya sesuatu yang memberikan arah bagi tujuan yang hendak dicapai. Menurut Ibnu Miskawaih dasar pendidikan adalah:
1) Syariat
Ibnu Miskawaih tidak menjelaskan secara pasti tentang dasar pendidikan. Namun secara tegas ia menyatakan bahwa syari’at agama merupakan faktor penentu bagi lurusnya karakter manusia, yang menjadikan manusia terbiasa melakukan perbuatan terpuji, yang menjadikan jiwa mereka siap menerima kearifan (hikmah), dan keutamaan (fadilah), sehingga dapat memperoleh kebahagiaan berdasarkan penalaran yang akurat. Dengan demikian syariat agama merupakan landasan pokok bagi pelaksanaan pendidikan yang merujuk kepada Al-Qur’an dan Sunnah. Oleh karena itu, prinsip syariat harus diterapkan dalam proses pendidikan, yang meliputi aspek hubungan manusia dengan Tuhan, manusia dengan sesamanya dan manusia dengan makhluk lainnya.

2) Psikologi
Menurut Ibnu Miskawaih, antara pendidikan dan pengetahuan tentang jiwa erat kaitannya. Untuk menjadikan karakter yang baik, harus melalui perekayasaan (shina’ah) yang didasarkan pada pendidikan serta pengarahan yang sistematis. Itu semua tidak akan tercapai kecuali dengan mengetahui jiwa lebih dahulu. Jika jiwa dipergunakan dengan baik, maka manusia akan sampai kepada tujuan yang tertinggi dan mulia.
Maka dari itu, jiwa merupakan landasan yang penting bagi pelaksanaan pendidikan. Pendidikan tanpa pengetahuan psikologi laksana pekerjaan tanpa pijakan. Dengan demikian teori psikologi perlu diaplikasikan dalam proses pendidikan. Dalam hal ini Ibnu Miskawaih adalah orang yang pertama kali melandaskan pendidikan kepada pengetahuan psikologi. Ia adalah perintis psikologi pendidikan, dan layak disebut sebagai ‘Bapak Psikologi Pendidikan’.

D. METODE DAN ASAS PENDIDIKAN MENURUT IBNU MISKAWAIH
• Metode Pendidikan
Definisi metode yang digunakan dalam topik ini identik dengan alat, karena fungsinya sebagai pelancar terjadinya proses pendidikan, dan cara yang harus dilakukan. Ada beberapa metode pendidikan yang dikemukakan oleh Ibnu Miskawaih, di antaranya adalah :
1) Metode alami (thabi’i)
Manusia mempunyai metode alami yang dilakukan sesuai dengan proses alam. Cara ini berangkat dari pengamatan potensi manusia, di mana potensi yang muncul lebih dahulu, selanjutnya pendidikannya diupayakan sesuai dengan kebutuhan. Menurut Ibnu Miskawaih potensi yang pertama terbentuk bersifat umum yang juga ada pada hewan dan tumbuhan, kemudian baru potensi yang khusus manusia. Oleh karena itu, pendidikan harus dimulai dengan memperhatikan kebiasaan makan dan minum, karena dengannya akan terdidik jiwa syahwiyyah, kemudian baru yang berhubungan dengan jiwa ghadhabiyah yang berfungsi memunculkan cinta kasih, dan baru muncul jiwa nathiqah yang berfungsi memenuhi kecenderungan pengetahuan. Urutan ini yang disebut dengan metode alamiah.
2) Metode Bimbingan
Metode ini penting untuk mengarahkan subjek didik kepada tujuan pendidikan yang diharapkan yaitu mentaati syariat dan berbuat baik. Hal ini banyak ditemukan dalam Al-Qur’an, yang menunjukkan betapa pentingnya nasihat dalam interaksi pendidikan yang terjadi antar subjek-didik. Nasihat merupakan cara mendidik yang ampuh yang hanya bermodalkan kepiawaian bahasa dan olah kata.


3) Metode Ancaman, Hardikan, dan Hukuman
Berangkat dari metode yang sebelumnya, jika subjek-didik tidak melaksanakan nilai yang telah diajarkan, maka mereka diberi berbagai cara secara bertahap sehingga kembali kepada tatanan nilai yang ada. Seperti ancaman, kemudian baru hukuman, baik bersifat jasmani atau rohani.
4) Metode Pujian
Jika subjek didik melaksanakan syariat dan berperilaku baik, maka ia perlu dipuji dihadapannya. Hal ini agar mereka merasa bahwa perbuatan tersebut mendapat nilai tambah bagi dirinya. Jika pandangan ini menyebar, akan semakin gencar subjek-didik melaksanakan kebajikan.

• Asas Pendidikan
Yang dimaksud dengan asas di sini adalah hal-hal yang mendasar, yang perlu diperhatikan dalam proses kegiatan pendidikan seperti:
1. Asas bertahap, yaitu asas yang didasarkan pada perbedaan yang dimiliki oleh tiap individu agar pendidikan berdaya dan berhasil guna.
2. Asas kesiapan, di mana manusia mempunyai kesiapan untuk memperoleh tingkatan, antara yang satu berbeda dengan yang lain.
3. Asas gestalt, yaitu mendahulukan pengetahuan yang umum, baru yang terinci, karena partikular tidak dapat dipisahkan dari hal yang universal.
4. Asas keteladanan, yaitu pemberian contoh yang baik bagi subjek didik, baik dalam keluarga, sekolah dan masyarakat.
5. Asas kebebasan, di mana subjek didik bebas memilih antara kemuliaan dan kehinaan, atau menjadi makhluk yang setingkat malaikat. Itu semua diserahkan kepada subjek didik.
6. Asas pembiasaan. Asas ini merupakan upaya praktek dalam pembinaan subjek didik, sesuai dengan kebiasaan hidupnya, karena kebiasaan hidup susah untuk diubah.

E. HUBUNGAN PENDIDIK DAN SUBJEK DIDIK
• Pendidik
Ibnu Miskawaih mengelompokkan orang yang melakukan usaha pendidikan di antaranya adalah: orang tua, guru atau filsuf, pemuka masyarakat dan raja atau penguasa. Guru dan filsuf mempunyai kedudukan yang istimewa yaitu sebagai Bapak Ruhani, Tuan Manusia dan kebaikannya adalah Kebaikan Ilahi. Hal ini karena dia mendidik murid dengan keutamaan yang sempurna (al fadillah at tammah), mengajarinya dengan kearifan yang mapan (al hikmahtul balighah) dan mengarahkannya kepada kehidupan yang abadi (al hayah al abadiyah) dalam kenikmatan yang kekal (an ni’mah al abadiyah). Ibnu Miskawaih menyatakan guru dan filsuf adalah penyebab eksistensi intelektual manusia.
• Subjek Didik
Pengertian subjek didik yaitu semua orang yang memperoleh atau memerlukan bimbingan, bantuan dan latihan, baik berupa ilmu, ketrampilan atau lainnya, guna mengembangkan dirinya sebagai individu, anggota masyarakat dan hamba Tuhan yang paripurna.
Menurut Ibnu Miskawaih, hubungan antara pendidik dan subjek didik harus didasarkan pada kemanusiaan yaitu cinta, kasih sayang, persahabatan, keadilan, kebaikan dan fadhilah. Hal ini karena manusia adalah makhluk sosial yang harus membagi cinta dan kasih sayang, bersahabat, menegakkan keadilan dan berupaya memperoleh keutamaan. Sehingga dalam pendidikan harus terjadi komunikasi dua arah (interaksi), bahkan multi arah (transaksi).

F. TUJUAN PENDIDIKAN MENURUT IBNU MISKAWAIH
Ibnu Miskawaih memusatkan perhatiannya kepada filsafat akhlak. Karena itu corak pemikiran pendidikannya bertendensi moral. Adapun tujuan pendidikan menurut Ibnu Miskawaih adalah:
1. Kebaikan dan kebahagiaan
Manusia yang ingin diwujudkan oleh pendidikan adalah manusia yang baik, bahagia dan sempurna. Kebaikan, kebahagiaan dan kesempurnaan adalah suatu mata rantai yang tidak dapat dipisahkan. Seluruhnya adalah berkaitan dengan akhlak, etika dan moral. Untuk mencapai tingkatan tersebut, harus memiliki 4 kualitas, yaitu; kemampuan dan semangat yang kuat, ilmu pengetahuan yang esensial-substansial, malu kebodohan, dan tekun melakukan keutamaan dan konsisten mendalaminya.
2. Tercapainya Kemuliaan Akhlak
Manusia yang paling mulia ialah yang paling besar kadar jiwa rasionalnya, dan terkendali. Oleh karena itu pembentukan individu yang berakhlak mulia terletak pada bagian yang menjadikan jiwa rasional ini unggul dan dapat menetralisir jiwa-jiwa lain.
Tujuan pendidikan yang diinginkan Ibnu Miskawaih adalah idealistik-spiritual, yang merumuskan manusia yang berkemanusiaan. Rumusan ini sejalan dengan fungsi kerasulan Muhammad yang digambarkan dalam Al-Qur’an dan Sunnah yaitu sebagaimana yang disebutkan dalam QS. Al-Qalam: 4:
    
“Dan sesungguhnya kamu benar-benar berbudi pekerti yang agung”.
Dari sinilah kebanyakan para ahli pendidik Muslim sepakat bahwa tujuan pendidikan Islam yang paling pokok adalah pendidikan budi pekerti dan jiwa. Faktor kemuliaan akhlak dalam pendidikan Islam inilah kemudian menjadi penentu bagi keberhasilan pendidikan Islam. Sebagaimana yang terangkum dalam firman Allah SWT (QS. Al-Baqarah: 201) :
 •            •
Artinya:
“Dan di antara mereka ada orang yang bendoa: "Ya Tuhan kami, berilah kami kebaikan di dunia dan kebaikan di akhirat dan peliharalah kami dari siksa neraka"[*].
[*] inilah doa yang sebaik-baiknya bagi seorang muslim.

3. Sebagai Sarana Sosialisasi Individu
Manusia adalah makhluk sosial, maka pendidikan harus berfungsi sebagai proses sosialisasi bagi subjek didik. Kebijakan manusia sangat banyak jumlahnya, yang tidak mampu dicapai oleh individu, perlu bergabung dengan kelompok lain untuk tujuan tersebut. Gagasan ini merupakan jalan rintis lahirnya sosiologi pendidikan yang di kembangkan oleh para sosiolog modern.

G. KESIMPULAN
Menurut Ibnu Miskawaih, pendidikan yang sistematis dapat dilaksanakan apabila didasari dengan pengetahuan mengenai jiwa yang benar. Oleh karena itu pengetahuan tentang jiwa adalah sangat penting sekali dalam proses pendidikan. Kajian mengenai konsep pendidikan yang dikemukakan oleh Ibnu Miskawaih, diharapkan mampu menguak konsep pendidikan Islam dalam skala khusus, terutama pendidikan akhlak yang dirasa penting, karena setiap budaya memiliki norma etika atau tata susila yang harus dipatuhi. Oleh karena itu, moral merupakan suatu fenomena manusiawi yang universal, yang hanya terdapat pada diri manusia.
Dari karya Ibnu Miskawaih, tidak di temukan buku yang bertemakan “pendidikan” secara langsung. Hanya beberapa buku yang pembahasannya berkaitan dengan pendidikan dan kejiwaan, akal serta etika. Salah satu buku yang dinilai banyak mengandung konsep pendidikan ialah kitab Tahzib al-Akhlak wa Tathhir al-A’raq, yang banyak dijadikan rujukan ulama’ dalam pendidikan.
Dari konsep pemikiran pendidikan yang disampaikan oleh Ibnu Miskawaih, jika ditelaah dengan pendekatan epistemology secara hirarkhi, maka konsep tersebut selalu mengacu kepada tiga hirarkhi yaitu yang mengacu kepada kondisi psikologis dan kesiapan peserta didik, yang dipetakan menjadi tiga tingkatan yaitu bayany untuk pemula, burhany untuk orang dewasa dan ‘irfany bagi mereka yang telah matang baik jiwa maupun intelektual. Sementara dari segi materi dan sasarannya juga dikelompokkan menjadi tiga kelompok yaitu empirik bagi pemula, logik bagi dewasa dan etik bagi mereka yang sudah matang.


H. REFERENSI

Azra, Azyumardi, Prof. Dr. 1998. Esei-esei Intelektual Muslim dan Pendidikan Islam. Cetakan 1. Jakarta: Logos Wacana Ilmu.

Jalaluddin, Usman Said. 1996. Filsafat Pendidikan Islam : Konsep dan perkembangan pemikirannya. Cetakan ke-2. Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada.

Langgulung, Hasan, Prof. Dr. 1992. Asas-asas Pendidikan Islam. Cetakan ke-2. Jakarta : Pustaka Al-Husna.

Suyudi, M. 2005. Pendidikan dalam Perspektif Al-Qur’an : Integrasi Epistemologi Bayani, Burhani, dan Irfani. Cetakan 1. Yogyakarta : Mikraj.

Boy ZTF, Pradana. 2003. Filsafat Islam : Sejarah, Aliran dan Tokoh. Cetakan 1. Malang : UMM Press.



0 comments: