Dec 4, 2008

REFLEKSI FILOSOFIS PEMIKIRAN IBN RUSYD

REFLEKSI FILOSOFIS TERHADAP PEMIKIRAN IBN RUSYD
Kajian buku Fashl al-Maqal fi Ma Bayna al-Hikmah wa al-Syariah
1. Pendahuluan
Pertanyaan tentang kebenaran yang selalu muncul adalah manakah yang benar dan apakah kebenaran itu. Pertanyaan tersebut tidak pernah selesai terjawab. Kebenaran mempunyai makna abstrak yang tidak mudah ditangkap walaupun sebagian orang telah merasa menemukannya. Secara ironis, ternyata kebenaran yang telah didapatkan seseorang tidak mesti diterima semua orang, bahkan kemungkinan juga ada yang menganggapnya kesalahan. Apa yang diyakini benar oleh Aristoteles dapat dikatakan tidak benar oleh Newton. Dan apa yang dikatakan benar oleh Newton dapat berubah menjadi tidak pas lagi pada era Einstein, dan begitu seterusnya. Apalagi jika kebenaran itu menyangkut banyak obyek yang berbeda, maka akan banyak pula perbedaan makna, sebab kebenaran selalu dikaitkan dengan akal budi, atau intelek manusia. Masalah kebenaran ini sangat menarik, sehingga kebenaran menjadi kajian filsafat. Jika ditinjau dari segi sejarah filsafat yang menempatkan diri sebagai usaha manusia dalam mencari kebenaran, maka kebenaran yang dicari itu bukan pada satu bagian atau pada suatu tingkat tertentu dari realitas, akan tetapi pada kedalamannya secara total. Pemikiran semacam ini telah dimulai Plato. Bahkan Plato sendiri masih juga mencari apa arti sesungguhnya "kebenaran " itu?
Di kalangan filusuf Islam , kebenaran juga menjadi sentral pembahasan, bahkan mereka tidak lagi hanya berpikir tentang hakekat kebenaran, tetapi mengeluarkan pemikiran-pemikiran tentang kebenaran yang sudah dikaitkan dengan masalah-masalah fisika maupun metafisika. Makalah ini berbicara sekilas masalah kebenaran yang dikemukakan oleh Ibn Rusyd yang termuat dalam bukunya Fashl al-Maqal fi ma Bayna al-Hikmah wa al-Syari'ah. Kemudian dikembangkan melalui refleksi filusufis, yaitu kajian epistemologis, ontologis dan aksiologis. Tesis ini tidak mempersoalkan apakah filsafat Islam terpengaruh Yunani atau tidak, akan tetapi hanya ingin menyampaikan bahwa karya filusuf Muslim dan Yunani merupakan produk akal pikiran manusia
2. Riwayat Hidup Ibn Rusyd
I Ibn Rusyd mempunyai nama lengkap Abu al-Walid Muhammad ibn Ahmad ibn Muhammad ibn Ahmad ibn Ahmad ibn Rusyd. Ia lahir dari keluarga yang memiliki tradisi dan peran intelektual yang besar, serta keahlian yang diakui dalam dunia yuridis. Kakeknya dari pihak bapak adalah seorang hakim agung di Cordoba , di samping kedudukannya sebagai salah seorang ahli hukum terkemuka dalam madzhab Maliki, salah satu madzhab yang sangat dominan dalam wilayah Maghrib dan Andalusia. Ayahnya, Ahmad ibn Muhammad ibn Rusyd pernah menjabat hakim di Cordoba. Selain jabatan dan kedudukan di atas, ia juga sangat aktif dalam kegiatan politik dan sosial.
Ketika Ibn Rusyd lahir, tahun 520 H (1126 M), Cordoba tengah berada pada zaman keemasannya sebagai salah satu ibukota ilmu pengetahuan dan kebudayaan. Ibn Rusyd dilahirkan 150 tahun sepeninggal khalifah Hakam II Al-Mustanshir, seorang khalifah yang sangat antusias dan tinggi cita-citanya untuk memajukan ilmu pengetahuan. Ia senantiasa berupaya bagaimana agar Cordoba menjadi pusat ilmu pengetahuan dan kebudayaan yang sanggup bersaing dengan Baghdad pada masa pemerintahan al-Makmun. Keadaan yang begitu semarak dan kondusif bagi perkembangan ilmu pengetahuan dan kebudayaan seperti di atas terus berlangsung hingga masa kelahiran Ibn Rusyd. Untuk itu, Ibn Rusyd dari kecilnya hidup di ibukota kelahirannya dengan suasana kehidupan yang penuh dengan dinamika perkembangan ilmu pengetahuan dan kebudayaan.
Di samping ilmu filafat, Ibn Rusyd sangat menguasai disiplin-disiplin Ilmu kalam, fiqh, sastra dan bahasa Arab. Dalam semua bidang ilmu ini, ia tidak mendapatkan saingan yang berarti dari para ilmuwan lainnya yang hidup pada masanya. Mengenai masalah ini, Ibn al-Abbar menceritakan bahwa kajian analisis tampaknya lebih menarik perhatian Ibn Rusyd dibanding ilmu-ilmu perawian. Pada tahun 1169 M, Ibn Tufail membawa Ibn Rusyd ke hadapan sultan yang berpikiran maju dan memberi perhatian di bidang ilmu, yaitu Abu Ya'qub Yusuf yang memberinya tugas untuk menyeleksi dan mengoreksi berbagai syarah (komentar) dan penafsiran terhadap karya-karya Aristoteles, sehingga ungkapan-ungkapannya lebih kena dan bersih dari banyak cacat karena keteledoran transkripsi maupun kekeliruan para penulis sejarah dan penafsir lainnya. Sejak tahun itu, Ibn Rusyd memulai kerja intelektualnya yang berat.
Saat Ibn Tufail memasuki usia senja, Ibn Rusyd menempati jabatan sebagai dokter pribadi Sultan Abu Ya'qub Yusuf di istana Marakish pada tahun 1182 M. Setelah sultan Abu Ya'qub Yusuf meninggal dunia tahun 1184 M, di sisi penggantinya, sultan Manshur Abu Yusuf Ya'qub (1184-1199), kedudukan Ibn Rusyd tidak berlangsung lama. Ia mengalami inkuisisi (al-mihnah) dan tekanan berkenaan dengan ideologi dan pemikiran-pemikiran filsafatnya pada tahun 1195. Buku-buku Ibn Rusyd dan banyak buku filsafat karya para filsuf berbobot lainnya dibakar, dan masyarakat dilarang keras mempelajari ilmu-ilmu praktis dan rasional selain disiplin-disiplin ilmu kedokteran, astronomi dan ilmu ukur.
Ketika badai inkuisisi ini berlalu, Ibn Rusyd memperoleh kedudukannya kembali di sisi sultan dan tinggal lagi di istana kerajaan, dan begitu pula posisi filsafat dan ilmu-ilmu rasional lainnya dalam kehidupan bernegara. Akan tetapi, ajal menjemputnya tidak lama setelah masa ini, yakni pada tanggal 11 Desember 1198 M.
3. Kebenaran menurut Ibn Rusyd
3.1. Epistemologi Kebenaran
3.1.1. Makna Kebenaran
Ibn Rusyd memberi makna "benar" ialah ketika seseorang mendapatkan pengetahuan yang sesuai dengan kemaujudannya yang terdapat dalam mental maupun eksternal. Jika keduanya bertemu dengan sesuatu yang ada di luar berarti wujud itu benar. Maka, dua makna yang berbeda diterapkan pada kemaujudan, yang satu bersifat essensial dan yang satu lagi substansial. Kemaujudan-kemaujudan lahiriah merupakan dasar bagi pengetahuan kita. Jika suatu wujud ada di dalam pikiran kita tanpa memiliki keberadaan sejati di luar, maka ia bukanlah suatu wujud, tetapi hanya suatu kemaujudan seperti sebuah gagasan yang tak masuk akal. Kalau akal diikatkan dengan keberadaan-keberadaan lahiriah, maka wujud yang ada di luar masuk ke dalam pikiran dalam bentuk konsep atau esensi.
3.1. 2. Proses mendapatkan "kebenaran".
a) Melalui Filsafat
Untuk mendapatkan kebenaran sebagai realitas segala yang wujud ini, Ibn Rusyd mengajukan cara melalui penalaran. Salah satu contoh ialah penalaran tentang syariah, bahwa syariah memerlukan nadlar (penelitian) terhadap semua wujud dengan rasio, dan mengambil pelajaran (i'tibar) darinya. I'tibar itu sendiri tidak lebih dari menggali dan mengeluarkan sesuatu yang majhul dari sesuatu yang ma'lum atau ditempuh melalui jalan kias (analogi). Maka, seseorang wajib menjadikan proses penalarannya terhadap wujud-wujud melalui analogi rasional. Jelas sekali, proses penalaran seperti ini, yang diserukan dan dianjurkan oleh syari'at adalah suatu jenis penalaran yang paling sempurna, melalui proses analogi yang sempurna pula, dan inilah yang disebut dengan burhan (demonstrasi).
Dengan demikian, Ibn Rusyd menandaskan bahwa pembahasan demonstratif dituntut oleh syara', dan yang dimaksud dengan pembahasan demonstatif tidak lain berupa filsafat. Lebih jelasnya, yang dimaksud adalah filsafat Yunani, khususnya filsafat Aristoteles. Jadi, syariat sendiri telah memberi semangat untuk mengetahui Allah dan wujud-wujud ciptaannya melalui proses burhan (demonstrasi). Sementara itu, seseorang yang ingin mengetahui Allah Ta'ala dan wujud-wujud ciptaan-Nya melalui proses burhan (demonstrasi), menjadi keharusan atau sesuatu yang dlaruri baginya untuk terlebih dahulu mengetahui macam-macam burhan dan syarat-syaratnya, dan dengan kriteria apa suatu kias burhani berbeda dengan kias jadali (dialektik) serta kias khatabi (retorik) dengan kias mughaliti (sofistik). Hal ini tidaklah mungkin dicapai oleh seseorang tanpa mengetahui terlebih dahulu apa itu yang disebut kias secara mutlak, berapa macamnya, mana yang benar-benar kias dan mana yang bukan. Dan hal ini pun, tidaklah mungkin tercapai tanpa ia mengetahui terlebih dahulu berbagai unsur dari suatu kias serta dengan mana kias itu tersusun, yakni mukadimah-mukadimah (premis) dan berbagai macamnya.
Jika telah mantap bahwa secara hukum (syari'at) mempelajari kias rasional dan berbagai bentuknya adalah wajib, sebagaimana halnya kewajiban mempelajari kias fiqh, maka jelaslah bahwa apabila tidak ada seorang pun dari para pendahulu yang mengembangkan kias rasional dengan segala bentuknya, maka kita harus memulai sendiri pengembangan kias rasional itu. Dalam hal ini, generasi yang datang belakangan dapat meminta bantuan kepada generasi sebelumnya, sampai pengetahuan tentang kias rasional itu mencapai kesempurnaan.
Penjelasan Ibn Rusyd di atas mengajak manusia untuk mempergunakan kias rasional dalam upaya memahami syari'at yang masih memerlukan penalaran secara mendalam. Bahkan bila perlu, penalaran orang terdahulu dapat dipakai kapan pun juga sejauh masih relevan dengan permasalahan yang ada.
b). Melalui Takwil
Ibn Rusyd melihat bahwa takwil menjadi sesuatu yang dlaruri (mutlak dibutuhkan) bagi para ilmuwan rasional, jauh lebih mendesak daripada bagi para ahli fiqh sendiri. Sebab, menurut Ibn Rusyd, para ilmuwan rasional lebih memiliki kapasitas dan lebih representatif untuk melakukannya, di samping faktor-faktor yang mengharuskan mereka untuk menempuhnya, yang tidak dapat dibandingkan dengan faktor dorongan para ahli fiqh dalam konteks ini.
Ibn Rusyd juga melihat, metode takwil inilah satu-satunya jalan keluar untuk menghilangkan segala bentuk pertentangan dan konflik yang muncul antara makna-makna lahiriah (tekstual) pada sebagian nash agama dengan realitas obyektif yang dicapai melalui proses penalaran burhani (demonstratif) bagi para ilmuwan rasional dan bagi mereka yang aktif dalam berfilsafat. Ibn Rusyd memastikan betapa representatifnya metode takwil ini dipraktekkan pada setiap kasus yang memperlihatkan fenomena pertentangan dan konflik antara nash-nash tekstual agama dengan konklusi-konklusi burhan.
Apabila ahli fiqh banyak mempraktekkan cara-cara takwil seperti ini dalam hukum-hukum syari'at, maka sebenarnya jauh lebih patut bagi pengemban ilmu burhan untuk menempuh cara-cara takwil semacam itu. Seorang ahli fiqh hanyalah memiliki kias dhanni (sifatnya perkiraan belaka), sedangkan seorang 'arif (ahli hikmah) memiliki qias yaqini (sifatnya yakin dan pasti). Maka, beragamnya jalan untuk mencapai kebenaran dan bertingkatnya kadar kemampuan manusia untuk mencapainya merupakan suatu dalil yang sederhana bagi keharusan melakukan takwil. Sebab, memang takwil inilah satu-satunya jalan untuk menghilangkan segala bentuk konflik yang kadang-kadang terjadi di antara makna tekstual pada sebagian nash dengan konklusi-konklusi burhan.
Dari titik tersebut, Ibn Rusyd berani memastikan seyakin-yakinnya bahwa capaian apapun yang dihasilkan oleh metode burhan (demonstrasi) tapi bertentangan dengan makna lahir teks syari'at, maka makna lahir teks tersebut menjadi terbuka untuk menerima pentakwilan menurut aturan main pentakwilan bahasa Arab yang ada. Tidak seorang muslim atau mukmin pun yang meragukan atau mempertanyakan hal ini, dan keyakinan akan kebenarannya semakin bertambah apabila seseorang menekuni dan menguji pernyataan ini, lalu menjadikannya sebagai sarana pencapaian untuk mengintegrasikan hal-hal yang rasional (ma'qul) dan wahyu (manqul).
Yang menyebabkan syariat itu sendiri mengandung makna lahir dan batin adalah adanya keanekaragaman kapasitas penalaran manusia dan perbedaan karakteristik mereka dalam menerima kebenaran. Dan mengapa syariat sendiri membawa makna-makna tekstual yang tampaknya saling bertentangan itu adalah untuk menarik perhatian kaum cerdik pandai yang mendalam ilmunya agar melakukan pentakwilan yang menggabungkan makna-makna tekstual yang tampaknya bertentangan itu.
Dapat disimpulkan, Ibn Rusyd berpendapat bahwa di dalam lafal syara' terdapat makna zhahir dan makna batin. Ada yang jelas memberikan pengertian tanpa memerlukan interpretasi (takwil), dan ada pula yang memerlukan interpretasi. Lafal yang makna lahirnya sejalan dengan kebenaran filsafat tidak memerlukan interpretasi, dan lafal yang lahirnya bertentangan dengan kebenaran filsafat harus ditakwilkan. Yang berhak memberi interpretasi (mentakwil) hanyalah mereka yang memang memiliki kemampuan untuk itu, khususnya para filusuf.

3.1.3. Syarat-syarat mendapatkan kebenaran
Dalam Fashl Maqal fi Ma Baina al-Hikmah wa al-Syariah disebutkan, kalau sampai terjadi seseorang menjadi sesat atau mengalami kefatalan setelah mempelajari karya-karya itu disebabkan lemahnya kemampuan yang melekat pada dirinya, atau karena ketidak-mampuannya mengendalikan diri, atau karena ia tidak menemukan seorang pembimbing untuk menerangkan apa yang terdapat dalam karya-karya itu, atau disebabkan oleh itu semua, atau lebih dari satu faktor di antara faktor-faktor di atas, maka hal itu tentu saja tidak boleh membuat kita menghalang-halangi karya-karya tersebut dipelajari oleh mereka yang memang memiliki kemampuan untuk mempelajarinya. Kasus negatif internal semacam ini, yang ditimbulkan oleh faktor-faktor di atas, adalah sesuatu yang terjadi secara kebetulan, dan tidak secara esensial.
Sesuatu yang secara karakteristik dan esensial mampu memberikan manfaat, tidaklah boleh disia-siakan hanya karena adanya fenomena dlarar (bahaya) yang terkait dengannya secara aksidental. Karena itulah, Rasulullah saw bersabda kepada seseorang yang pernah diperintahkannya untuk memberi minuman madu kepada saudaranya yang terkena diare, namun ternyata diarenya itu malah semakin parah, dan kemudian orang itu mengadu kepada beliau, kemudian beliau menjawab: "Allah tetaplah benar, dan perut saudaralah yang telah berbohong."
Melalui contoh kasus di atas, Ibn Rusyd menyatakan bahwa perumpamaan orang yang melarang mereka yang memiliki cukup kapasitas untuk mempelajari buku-buku filsafat hanya dengan alasan bahwa ada sekelompok orang yang lemah kualitasnya dicurigai telah menempuh jalan sesat akibat mempelajari buku-buku filsafat, adalah seperti halnya seseorang yang sangat haus ingin minum air tawar yang dingin tapi dilarang, sampai akhirnya ia menemui ajalnya karena dahaga, dengan alasan bahwa pernah ada sekelompok orang tersedak air itu lalu mati semua. Menurut Ibn Rusyd, bahwa kematian karena tersedak air itu adalah suatu kasus aksidental, sedangkan kehausan adalah suatu fakta yang esensial dan pasti. Maka, syarat seseorang memperoleh kebenaran harus mempunyai niat kuat dengan mengesampingkan segala keragu-raguan.
3.1.4. Metode Pembuktian Kebenaran
Dalam membahas masalah ini, Ibn Rusyd mengambil contoh dalam mencari kebenaran dalam syariat, bahwa tujuan utama syariat adalah mengajarkan ilmu yang benar dan amal yang benar pula. Untuk mendapatkan bagaimana syariat itu menjadi benar terdapat tiga macam metode, yaitu metode demonstrasi (al-burhaniyyah), metode dialektik (al-jadaliyyah) dan metode retorika (al-khatabiyyah).
Metode-metode pembuktian kebenaran itu ada yang secara umum dikonsumsikan bagi sekelompok besar manusia (orang awam), yaitu metode retorik dan metode dialektik. Dalam hal ini, metode retorik lebih umum dibanding metode dialektik. Ada pula metode pembuktian yang secara spesifik dikonsumsikan bagi sekelompok kecil manusia, yaitu metode demonstrasi.
3.2. Ontologi Kebenaran
Secara batini, Ibn Rusyd tidak menjelaskan "kebenaran" itu apa. Ia hanya menjelaskan bahwa segala yang ada ini mempunyai makna lahir (eksoteris) dan makna batin (esoteris). Makna eksetoris ialah erumpamaan - perumpamaan yang dipermisalkan bagi makna-makna yang tersirat itu, sedangkan makna esoteris adalah makna-makna yang tersirat itu sendiri, yang tidak mungkin dapat diungkapkan selain oleh ahli burhan. Ada tiga macam kategori manusia dalam menerima kebenaran :
Mereka yang sama sekali tidak termasuk ahli takwil, yaitu orang-orang yang berpikir retorik, yang merupakan mayoritas manusia. Sebab, tidak ada seorang pun yang berakal sehat kecuali dari kelompok manusia dengan kriteria pembuktian semacam ini (khatabi).
Kelompok yang lain adalah mereka yang termasuk ahli dalam melakukan takwil dialektik. Mereka ini secara alamiah, atau alamiah dan sekaligus tradisi, mampu berpikir dialektik (jadali).
Kelompok terakhir adalah mereka yang termasuk ahli dalam melakukan takwil yakini. Mereka ini terbentuk secara alamiah maupun karena latihan, yakni latihan filsafat, sehingga mampu berpikir secara demonstratif (burhani).
Kelompok-kelompok di atas menunjukkan bahwa tidak mudah menyampaikan kebenaran kepada seseorang. Takwil-takwil burhani sangat tidak layak untuk dijelaskan kepada mereka yang berpikir dialektik, apalagi kepada kelompok retorik (kebanyakan orang). Suatu bagian saja dari takwil ini diberikan kepada mereka yang bukan ahlinya --terutama yang bersifat demonstratif, karena memang takwil ini menuntut intelektualitas lebih tinggi di atas rata-rata intelegensia orang kebanyakan-- jelas akan menjerumuskan golongan tersebut ke jurang kekafiran.
Karena itulah, maka takwil-takwil itu sangat tidak layak untuk diterangkan pada jumhur (orang awam), atau ditulis dalam kitab-kitab retorik atau dialektik. Yakni, kitab-kitab yang mempergunakan dalil-dalil yang dibuat dengan metode retorik atau dialektik, sebagaimana yang dilakukan oleh Abu Hamid al-Ghazali. Takwil-takwil semacam ini sama sekali tidak boleh diterangkan kepada orang awam. Makna-makna lahiriah yang belum jelas benar, termasuk lahiriah secara esensial bagi semua orang, atau memang tidak mungkin difahami makna takwilnya, akhirnya menjadi mutasyabih (samar) dan hanya Allah yang mengetahui maknanya secara persis. Dalam hal ini, tanda waqaf harus diterapkan pada bacaan "Dan tidaklah mengetahui takwilnya kecuali Allah semata." (QS. Ali Imran: 7).
Dari uraian di atas, jelaslah kiranya bahwa takwil-takwil yang benar saja tidak diperkenankan untuk ditulis dalam kitab-kitab umum, apalagi takwil-takwil (interpretasi) yang menyeleweng. Takwil-takwil yang benar ini tak lain adalah amanat dari Allah untuk manusia yang telah ia sanggupi untuk memikulnya, sementara makhluk lain tidak sanggup menerimanya.
3.3. Aksiologi Kebenaran
Dalam kajian ini, Ibn Rusyd memberi jalan keluar yang baik bagi munculnya beberapa faham sesuai dengan metode yang dipergunakan dalam mendapatkan kebenaran. Ide Ibn Rusyd ini muncul ketika ia berada pada puncak kesedihan dan keprihatinan melihat kerapuhan syariat karena rongrongan kepentingan-kepentingan sesaat yang destruktif dan keyakinan-keyakinan palsu yang menyesatkan, terutama rongrongan yang datang dari mereka yang mengaitkan dirinya dengan filsafat yang dianggap jauh lebih membahayakan dibanding rongrongan yang datang dari pihak musuh.
Menurut Ibn Rusyd, bahwa filsafat dengan tata kerjanya sebenarnya merupakan pasangan terbaik bagi syariat, bahkan saudara dekatnya. Keduanya harus saling mencintai. Sebab syariat tanpa filsafat tak mungkin kebenarannya bisa diamalkan, demikian pula filsafat tanpa syariat tentu akan menyesatkan. Ibn Rusyd merupakan sosok dan teladan yang terbaik dalam hal ini. Beliau adalah seorang filusuf yang ahli dalam bidang hukum Islam.
4. Refleksi Filosofis
4.1. Kajian Epistemologis
Pemikiran Ibn Rusyd yang termuat dalam Fashl al- Maqal fi Ma Baina al-Hikmah wa al-Syari'ah yang merupakan sumber primer penulisan tesis ini, lebih banyak berbicara perspektif metodologis yang memuat dua pokok bahasan utama, yaitu:
a. Masalah takwil
b. Masalah tingkatan manusia dalam menerima pembuktian kebenaran sesuai dengan watak dasar dan kapasitasnya masing-masing.
Ibn Rusyd melihat bahwa takwil menjadi sesuatu yang mutlak dibutuhkan bagi para ilmuwan rasional, jauh lebih mendesak daripada para ahli fiqh sendiri. Sebab para ilmuwan rasional lebih memiliki kapasitas dan lebih representatif untuk melakukannya, di samping faktor-faktor yang mengharuskan mereka untuk menempuhnya, yang tidak dapat dibandingkan dengan faktor dorongan para ahli fiqh dalam konteks ini.
Ibn Rusyd juga melihat, metode takwil inilah satu-satunya jalan keluar untuk menghilangkan segala bentuk pertentangan dan konflik yang muncul antara makna-makna lahiriyah pada sebagian nash agama dengan realitas obyektif meyakinkan yang dicapai melalui proses penalaran burhani bagi para ilmuwan rasional dan bagi mereka yang aktif dalam berfilsafat. Ibn Rusyd memastikan betapa representatifnya metode takwil ini dipraktekkan pada setiap kasus yang memperlihatkan fenomena pertentangan dan konflik antara tekstual nash-nash agama dengan konklusi-konklusi burhan. Seperti dalam definisinya bahwa takwil ialah mengeluarkan makna konotatif suatu lafal dari konotasinya yang hakiki kepada konotasi majazinya, dengan suatu cara yang tidak melanggar tradisi bahasa Arab dalam membuat majaz. Hal ini dilakukan dengan menyebutkan sesuatu dengan sesuatu lain yang menyerupainya, atau menjadi sebab atau akibatnya, atau menjadi bandingannya.
Dalam hal ini, Ibn Rusyd berani memastikan bahwa capaian apapun yang dihasilkan oleh metode burhan, tetap saja keberadaan makna teks syariat akan bertentangan dengannya. Karenanya, makna lahiriah teks tersebut harus terbuka untuk menerima pentakwilan bahasa Arab yang ada. Tidak ada seorang mukmin pun yang meragukan hal ini. Sebagai akibat takwil ini, manusia menjadi bertingkat-tingkat sesuai dengan kemampuannya. Tingkatan yang paling rendah ialah orang-orang awam yang mendapatkan keyakinan, ketenangan dan keimanannya melalui dalil-dalil retorik, dan dengan cara itu orang awam merasa mendapatkan kebenaran.
Tingkatan di atasnya ialah tingkatan ahli jadal. Mereka mempergunakan dalil-dalil dialektis dalam mendapatkan kebenaran. Dan tingkatan tertinggi terdapat pada ilmuwan rasional, para 'arif yang menekuni filsafat dan menempuh metode burhan dalam menerima kebenaran. Mereka itulah para filusuf yang harus mengekang dalil-dalil filusufis mereka ketika berhadapan dengan ahli jadal dan mayoritas manusia. Hal ini penting sekali untuk menjaga pembenaran yang telah dicapai masing-masing tingkatan sesuai dengan perangkat dan kemampuan masing-masing pihak. Pemikiran-pemikiran Ibn Rusyd di atas merupakan cermin tata pikir seorang filusuf yang sudah barang tentu sangat menghargai akal.
4.2. Kajian Ontologis
Bagi Ibn Rusyd, karena mempergunakan pendekatan demonstratif (al-burhaniyah) terhadap syari'ah yang keluar dari wahyu, maka ia mendapatkan makna yang berbau filusufis. Pemikiran filusufis selalu terarahkan pada pemikiran relatif karena dalam tata kerjanya menghargai pemikiran seseorang, apa pun tingkatannya. Seperti halnya beberapa tipologi yang dikemukakan oleh Ibn Rusyd di atas, adalah merupakan manifestasi keyakinan bahwa kebenaran filsafat itu relatif. Akan tetapi karena adanya pengakuan terhadap wahyu sebagai satu- satunya sumber ilmu tentang realitas dan kebenaran terakhir yang berkenaan dengan makhluk dan khaliknya, maka hal tersebut memberikan landasan bagi suatu kerangka metafisika.
Dalam kerangka inilah, filsafat dikembangkan sebagai sistem terpadu yang menerangkan realitas dan kebenaran dengan suatu cara yang tidak dapat dilakukan oleh metode-metode sekular filsafat dan sains modern, yaitu rasionalisme filusufis dan empirisme filusufis.
Maka, takwil yang dikembangkan pemahamannya oleh Ibn Rusyd lebih meyakinkan penghargaannya atas rasio, sebab Quran sendiri berbicara tentang tanda-tanda dan lambang-lambangnya yang sebagian sudah jelas dan pasti, dan sebagian lagi masih samar dan bermakna banyak. Pencarian, penemuan, dan penampakan makna-makna yang tersembunyi dari lambang-lambang dan tanda-tanda yang samar itulah yang disebut penafsiran alegoris atau takwil.
Sebagai lambang, segala sesuatu jelas bukanlah sesuatu yang tidak nyata, bukan hanya penampakan ilusi, tetapi harus dipahami dalam hubungannya dan ketergantungannya kepada apa yang dilambangkannya. Jika tidak (jika dianggap sebagai sesuatu dalam dirinya sendiri), maka mereka tidak nyata, dalam arti bahwa keberadaan mereka hanya dalam pikiran, tidak memiliki realitas di alam lahiriyah. Maka, konsep pencarian makna kebenaran sampai dengan takwil Ibn Rusyd secara umum bisa memunculkan kebenaran relatif dan kebenaran yang absolut. Kebenaran relatif ditujukan pada berbagai kebenaran yang muncul dari berbagai strata pemikiran manusia, sedangkan kebenaran absolut adalah kebenaran yang diimani kebenarannya pada setiap individu.
4.3. Kajian Aksiologis
Model-model pemikiran Ibn Rusyd di atas akan dicoba dikaitkan dengan kondisi manusia saat ini yang hidup dalam era globalisasi, yang mana proses-proses perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi tidak lagi menunjukkan kemajuan setapak demi setapak, melainkan melalui lompatan-lompatan, bahkan terobosan-terobosan yang besar. Pengaruh menyeluruh yang ditimbulkan oleh kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi ini antara lain dapat digambarkan dengan terjadinya Revolusi Industri pada akhir abad ke-19, yang bermula di Inggris.
Menyaksikan kenyataan-kenyataan yang menyambung Revolusi Industri tersebut maka sejumlah filusuf tentang kemanusiaan jauh-jauh hari telah memperingatkan betapa kita harus memperhitungkan akibat-akibat yang akan terbawa oleh diterapkannya teknologi mutakhir terhadap kehidupan bersama manusia. Tanpa mengingkari betapa kemajuan teknologi telah meningkatkan kemampuan manusia untuk mengelola alam lingkungannya, filusuf-filusuf ini pun menyaksikan gejala-gejala yang perlu menjadi perhatian kemanusiaan sehubungan dengan akibat-akibat sampingan dari penerapan teknologi ini.
Dalam kaitannya dengan masalah keagamaan, didapati pula perubahan yang besar dalam pemahamannya walaupun hal itu tidak terlepas karena adanya perubahan dalam masyarakat. Strategi teori evolusioner yang dikemukakan oleh Erik Olin Wright (1983) sangat tepat jika dikaitkan dengan perubahan pemahaman keagamaan mulai jaman Rasulullah sampai sekarang. Teori tersebut memusatkan perhatian kepada upaya menjelaskan transformasi sosial jangka panjang yang diasumsikan akan memperlihatkan arah transformasi untuk seluruh perubahan pada masyarakat.
Teori-teori fungsionalis-evolusioner memusatkan perhatian kepada kompleksitas masyarakat yang selalu berkembang, yang selalu menunjukkan efisiensi fungsional dan kemajuan sosial yang meningkat. Dalam sejarah Islam, peristiwa-peristiwa politik menjadi sebab terpecahnya kaum muslimin ke dalam berbagai golongan dan partai. Pertentangan ini kemudian mengambil bentuk sifat keagamaan, yang kelak mempunyai pengaruh yang lebih jauh bagi tumbuhnya aliran-aliran keagamaan dalam Islam. Setiap partai berusaha menguatkan posisinya dengan Quran dan Sunnah. Karena Quran dan Sunnah untuk setiap kelompok tidak selalu mendukung klaim-klaimnya, maka sebagian golongan itu melakukan interpretasi Quran tidak menurut hakikatnya dan membawa nash-nash Sunnah pada makna yang tidak dikandungnya. Sebagian lagi meletakkan pada lisan Rasul hadis-hadis yang menguatkan klaim mereka, setelah hal itu tidak mungkin mereka lakukan terhadap Quran karena ia sangat terlindung (terpelihara) dan banyaknya orang Muslim yang meriwayatkan dan membacanya.
Dari kasus-kasus tersebut, muncullah konsep ijtihad dalam pemikiran Islam klasik. Dalam perjalanan berikutnya, untuk menghadapi berbagai tantangan kemodernan intelektual budaya dan materiil yang dimasukkan oleh Barat sejak abad ke-19, para ulama yang semula reformis kini secara lebih terang-terangan melibatkan diri dalam berbagai gerakan politik militan serta mencoba membuka kembali pintu ijtihad. Masalah ijtihad telah berubah jangkauannya sejak tahun 60-an dan lebih berubah lagi sejak kemenangan "Revolusi Islam". Di antara faktor yang banyak jumlahnya, yang telah memberikan andil dalam menuntut penggunaan ijtihad secara lebih daripada di masa lalu, dapat diingat kebangkitan negara-negara merdeka setelah perang kemerdekaan yang berat serta pertambahan penduduk yang besar yang dalam waktu 20 tahun telah mengubah sama sekali kerangka-kerangka sosial dan pengetahuan pada semua muslim kontemporer.
Sebagai akibat dari perubahan tatanan masyarakat yang pada akhirnya menumbuhkan konsep ijtihad adalah semakin beragamnya makna yang terdapat dalam agama, bukan hanya pada bidang fiqh tetapi juga pada bidang-bidang lainnya. Padahal, kebenaran mestinya hanya satu, dan itulah yang harus dipilih untuk diyakini. Maka menanggapi beberapa hal tersebut, pemikiran dari Ibn Rusyd merupakan suatu alternatif. Dalam kaitannya dengan masalah syariah yang memiliki sekian banyak ragam madzhab, sangat relevan jika mempergunakan konsep yang dikemukakan oleh Ibn Rusyd, bahwa seseorang tetap dituntut memahami sesuai dengan kadar kemampuannya, level apakah dia, dan ketika ia sudah berusaha mendapatkan kebenaran tersebut secara maksimal, itulah kebenaran hakiki. Sebaliknya, jika seseorang memahami tidak secara maksimal, yaitu ragu-ragu, maka kebenaran yang diperoleh adalah semu. Kebenaran yang sudah dianggap hakiki pun tidak boleh berhenti sampai disitu, tetapi perlu dibuka kembali untuk mencari yang lebih hakiki. Belajar terus atau terus belajar sangat dituntut kelanjutannya untuk mendapatkan hakiki-hakiki yang lebih sempurna. Adapun jika terkait dengan masalah akidah, maka tidak perlu mencari kebenarannya, sebab kebenaran terletak pada sejauh mana seseorang mengimaninya.
Dengan memahami beberapa konsep alternatif tersebut di atas, kemudian dihubungkan dengan hidup bermasyarakat yang sangat terkait dengan masalah sosial, ekonomi, budaya, politik dan sebagainya, maka jelas akan terbebas dari bencana pertikaian, pertengkaran madzhab dan permusuhan. Yang ada adalah kedamaian, karena masing-masing orang telah mengetahui posisinya sebagai individu yang masih sangat terbatas kemampuannya. Dengan kesadaran keterbatasan, ia terhindar dari sikap sombong, ia selalu hidup dalam kesederhanaan, dan selalu tertarik untuk mencapai kemajuan yang lebih tinggi.
5. Kesimpulan
Setelah melakukan penelaahan melalui kajian literer, sampailah pada tahap menyimpulkan, bahwa upaya Ibn rusyd dalam memaparkan ide-idenya di atas ialah untuk menyadarkan setiap orang bahwa kebenaran mutlak ada pada individu, sedangkan kebenaran relatif ada pada kelompok masyarakat kolektif. Implikasi dan konsekwensi dari pemikiran ini diharapkan dapat merubah tatanan dunia yang semakin lama semakin menunjukkan konflik, yaitu menjadi alternatif mengembalikan manusia pada dirinya yang sebenarnya.



0 comments: