Dec 4, 2008

PERKEMBANGAN ISLAM PADA MASA ANDALUSIA

Perkembanga Islam Pada Masa Andalusia Seterusnya Dan Sejarah lengkapnya bisa anda dapatkan di di sini maaf kami tidak bisa mempublikasikan, coz malez Ngedit dah malam banget Kakak Mau Tidur... Semoga Bermanfaat Untuk Semua.



Menyusuri Jejak Islam di Andalusia

Menyusuri Jejak Islam di Andalusia
Wahai saudara-saudaraku, lautan ada di belakang kalian, musuh ada di depan kalian, ke manakah kalian akan lari?, Demi Allah, yang kalian miliki hanyalah kejujuran dan kesabaran. Ketahuilah bahwa di pulau ini kalian lebih terlantar dari pada anak yatim yang ada di lingkungan orang-orang hina. Musuh kalian telah menyambut dengan pasukan dan senjata mereka. Kekuatan mereka sangat besar, sementara kalian tanpa perlindungan selain pedang-pedang kalian, tanpa kekuatan selain dari barang-barang yang kalian rampas dari tangan musuh kalian. Seandainya pada hari-hari ini kalian masih tetap sengsara seperti ini, tanpa adanya perubahan yang berarti, niscaya nama baik kalian akan hilang, rasa gentar yang ada pada hati musuh akan berganti menjadi berani kepada kalian. Oleh karena itu, pertahankanlah jiwa kalian Link.Kalimat tersebut diucapkan setelah kapal yang digunakan menyeberangi selat dibakar, sehingga satu-satunya pilihan bagi 7000 pasukan Islam saat itu hanyalah menghadapi 100.000 pasukan Visigoth guna menaklukkan negeri Andalusia, atau syahid disana. Pidato terkenal ini dikobarkan oleh seorang panglima perang yang tercatat dengan tinta emas dalam sejarah penyebaran Islam: Thariq bin Ziyad.
Thariq bin Ziyad
Nama lengkapnya adalah Thariq bin Ziyad bin Abdullah bin Walgho bin Walfajun bin Niber Ghasin bin Walhas bin Yathufat bin Nafzau. Beliau merupakan putra suku Ash-Shadaf, suku Barbar, penduduk asli daerah Al-Atlas, Afrika Utara. Ia lahir sekitar tahun 50 Hijriah. Ia ahli menunggang kuda, menggunakan senjata, dan ilmu bela diri. Beliau adalah salah seorang Panglima Perang Islam pada masa pemerintahan Khalifah Walid bin Abdul Malik atau al-Walid I (705-715 M) dari bani Umayah.
Pada bulan Rajab 97 H atau Juli 711 M, beliau mendapat perintah dari Gubernur Afrika Utara, Musa bin Nusair untuk mengadakan penyerangan ke semenanjung Andalusia (Semenanjung Iberia yang sekarang meliputi negara Spanyol dan Portugis). Bersama 7.000 pasukan yang dipimpinnya, Thariq bin Ziyad menyeberangi selat Gibraltar (berasal dari kata “Jabal Thariq” yang berarti “Gunung Thariq”) menuju Andalusia.
Setelah armada tempur lautnya mendarat di pantai karang, beliau berdiri di atas bukit karang dan berpidato. Beliau memerintahkan anak buahnya untuk membakar kapal-kapal yang membawa seluruh awak pasukannya. Kecuali kapal-kapal kecil yang diminta pulang untuk meminta bantuan kepada khalifah.
Beliau mengatakan, “Kita datang ke sini tidak untuk kembali. Kita hanya punya dua pilihan, menaklukkan negeri ini dan menetap di sini serta mengembangkan Islam, atau kita semua binasa (syahid).”
Karuan saja pidato ini membakar semangat jihad pasukannya. Mereka segera menyusun kekuatan untuk menggempur pasukan kerajaan Visigoth, Spanyol, di bawah pimpinan Raja Roderick. Atas pertolongan Allah swt, 100.000 pasukan Raja Roderick tumbang di tangan pasukan muslim. Raja Roderick pun menemui ajal di medan pertempuran ini.
Dimulainya penyebaran Islam di Eropa Barat
Dalam kitab Tarikh al-Andalus, disebutkan bahwa sebelum meraih keberhasilan ini, Thariq telah mendapatkan firasat bahwa ia pernah bermimpi melihat Rasulullah saw bersama keempat khulafa’ al-rasyidin berjalan di atas air hingga menjumpainya, lalu Rasulullah saw. memberi tahukan kabar gembira bahwa ia akan berhasil menaklukkan Andalusia. Kemudian Rasulullah saw. menyuruhnya untuk selalu bersama kaum muslimin dan menepati janji.
Setelah meraih kemenangan ini, Thariq menulis surat ke Musa, mempersembahkan kemenangan kaum muslimin ini. Dalam suratnya itu ia menulis: “Saya telah menjalankan perintah anda. Allah telah memudahkan kami memasuki negeri Andalusia.”
Setahun kemudian, Musa bin Nusair bertolak membawa 10.000 pasukan menyusul Thariq. Sejak saat itu, satu demi satu kota-kota di Andalusia berhasil diduduki tentara Thariq dan Musa; Toledo, Elvira, Granada, Cordoba dan Malaga. Lalu dilanjutkan Zaragoza, Aragon, Leon, Asturia, dan Galicia. Dan penyebaran Islam ke Eropa pun dimulai dari Andalusia.
Pasukan Musa dan pasukan Thariq bertemu di Toledo. Keduanya bergabung untuk menaklukkan Ecija. Setelah itu mereka bergerak menuju wilayah Pyrenies, Perancis. Hanya dalam waktu 2 tahun, seluruh daratan Spanyol berhasil dikuasai. Beberapa tahun kemudian Portugis mereka taklukkan dan mereka ganti namanya dengan Al-Gharb (Barat).
Sungguh itu keberhasilan yang luar biasa. Musa bin Nusair dan Thariq bin Ziyad berencana membawa pasukannya terus ke utara untuk menaklukkan seluruh Eropa. Sebab, waktu itu tidak ada kekuatan dari mana pun yang bisa menghadap mereka. Namun, niat itu tidak tereaslisasi karena Khalifah Al-Walid bin Abdul Malik memanggil mereka berdua pulang ke Damaskus. Thariq pulang terlebih dahulu sementara Musa bin Nusair menyusun pemerintahan baru di Spanyol.
Setelah bertemu Khalifah, Thariq bin Ziyad ditakdirkan Allah swt. tidak kembali ke Eropa. Ia sakit dan menghembuskan nafas. Thariq bin Ziyad telah menorehkan namanya di lembar sejarah sebagai putra asli Afrika Utara muslim yang menaklukkan daratan Eropa.

Sejarawan Barat beraliran konservatif, W. Montgomery Watt dalam bukunya Sejarah Islam di Spanyol, mencoba meluruskan persepsi keliru para orientalis Barat yang menilai umat Islam sebagai yang suka berperang. Menurutnya, “Mereka (para orientalis) umumnya mengalami mispersepsi dalam memahami jihad umat Islam. Seolah-olah seorang muslim hanya memberi dua tawaran bagi musuhnya, yaitu antara Islam dan pedang. Padahal, bagi pemeluk agama lain, termasuk ahli kitab, mereka bisa saja tidak masuk Islam meski tetap dilindungi oleh suatu pemerintahan Islam.”
Peperangan dalam Islam adalah untuk menghidupkan manusia bukan untuk memusnahkan. Itu sebabnya, ketika kaum muslimin menang perang dan menguasai wilayah tidak bertujuan menjajahnya. Berbeda dengan ideologi Kapitalisme yang memang tujuan mereka berperang adalah untuk menguasai wilayah dan menjajahnya (baca: menguras seluruh potensi wilayah itu untuk kepentingan bangsanya).

Merah tua: Ekspansi wilayah Islam di zaman Rasulullah, 622-632
Merah muda: Ekspansi wilayah Islam di zaman Khulafaur Rasyidin, 632-661
Oranye: Ekspansi wilayah Islam di zaman Kekhilafahan Bani Umayyah, 661-750
Sejarah Andalusia
Al-Andalus, was the Arabic name given to those parts of the Iberian Peninsula governed by Muslims, or Moors, at various times in the period between 711 and 1492. (Wikipedia)
I. Periode Kekuasaan Bani Umayyah Damaskus (711-755)
Pada periode ini Spanyol berada di bawah pemerintahan para wali yang diangkat oleh Khalifah Bani Umayah yang berpusat di Damaskus.

Wilayah Kekhalifahan Bani Umayyah
Pada periode ini stabilitas politik negeri Spanyol belum tercapai secara sempurna, gangguan-gangguan masih terjadi, baik datang dari dalam maupun dari luar. Gangguan dari dalam antara lain berupa perselisihan di antara elite penguasa, terutama akibat perbedaan etnis dan golongan. Disamping itu, terdapat perbedaan pandangan antara khalifah di Damaskus dan gubernur Afrika Utara yang berpusat di Kairawan. Masing-masing mengaku bahwa merekalah yang paling berhak menguasai daerah Spanyol ini. Oleh karena itu, terjadi dua puluh kali pergantian wali (gubernur) Spanyol dalam jangka waktu yang amat singkat.
Gangguan dari luar datang dari sisa-sisa musuh Islam di Spanyol yang bertempat tinggal di daerah-daerah pegunungan yang memang tidak pernah tunduk kepada pemerintahan Islam. Gerakan ini terus memperkuat diri. Setelah berjuang lebih dari 500 tahun, akhirnya mereka mampu mengusir Islam dari bumi Spanyol. Karena seringnya terjadi konflik internal dan berperang menghadapi musuh dari luar, maka dalam periode ini Islam Spanyol belum memasuki kegiatan pembangunan di bidang peradaban dan kebudayaan.
Perbedaan pandangan politik juga menyebabkan seringnya terjadi perang saudara. Hal ini ada hubungannya dengan perbedaan etnis, terutama, antara Barbar asal Afrika Utara dan Arab. Konflik perang saudara diantara berbagai kelompok Muslim di Iberia itu berakibat hilangnya kendali kekhalifahan di wilayah itu, hingga Yusuf Al-Fihri memenangkan perseteruan itu dan menjadi pemimpin independen di wilayah Andalusia.
II. Periode Kerajaan Cordoba (756-1013)
Di tahun 750, kekuasaan khalifah Bani Umayyah yang berpusat di Damaskus digantikan dengan kekuasaan Bani Abbasiyah yang berpusat di Baghdad. Abdurrahman Ad-Dakhil, keturunan Bani Umayyah yang selamat, berhasil menurunkan Yusuf Al-Fihri dan memproklamirkan dirinya sebagai Amir kerajaan Andalusia yang berpusat di Cordoba dan melepaskan diri dari Kekhalifahan Abbasiyah pada tahun 756.
Amir Kerajaan Cordoba berturut-turut: Abdurrahman I (756-788), Hisyam I (788-796), Al-Hakam I (796-822), Abdurrahman II (822-852), Muhammad I (852-886), Al-Mundhir (886-888), Abdullah ibn Muhammad (888-912)
Kemudian semenjak kekuasaan Abdurrahman III di tahun 929, sebutan penguasa Amir kemudian digantikan dengan titel Khalifah: Abdurrahman III (912-961), Al-Hakam II (961-976), Hisyam I (976-1008), Muhammad II (1008-1009), Sulaiman II (1009-1010), Hisyam II (1010-1012), Sulaiman II (1012-1016), Abdurrahman IV (1017), Abdurrahman V (1023-1024), Muhammad III (1024-1025), Hisyam III (1026-1031).
Awal dari kehancuran khilafah Bani Umayyah di Spanyol adalah ketika Hisyam naik tahta dalam usia sebelas tahun. Oleh karena itu kekuasaan aktual berada di tangan para pejabat. Pada tahun 981 M, Khalifah menunjuk Ibn Abi Amir sebagai pemegang kekuasaan secara mutlak. Dia seorang yang ambisius yang berhasil menancapkan kekuasaannya dan melebarkan wilayah kekuasaan Islam dengan menyingkirkan rekan-rekan dan saingan-saingannya. Atas keberhasilan-keberhasilannya, ia mendapat gelar al-Manshur Billah. Ia wafat pada tahun 1002 M dan digantikan oleh anaknya al-Muzaffar yang masih dapat mempertahankan keunggulan kerajaan. Akan tetapi, setelah wafat pada tahun 1008 M, ia digantikan oleh adiknya yang tidak memiliki kualitas bagi jabatan itu. Dalam beberapa tahun saja, negara yang tadinya makmur dilanda kekacauan dan akhirnya kehancuran total. Pada tahun 1009 M khalifah mengundurkan diri. Beberapa orang yang dicoba untuk menduduki jabatan itu tidak ada yang sanggup memperbaiki keadaan. Akhirnya pada tahun 1013 M, Dewan Menteri yang memerintah Cordova menghapuskan jabatan khalifah. Ketika itu, Spanyol sudah terpecah dalam banyak sekali negara kecil yang berpusat di kota-kota tertentu.
III. Periode Kerajaan-Kerajaan Lokal
Kekhalifahan Cordoba runtuh dengan terjadinya perang saudara antara 1009 hingga 1013, meskipun belum sepenuhnya berakhir hingga 1031. Negeri Andalusia kemudian terpecah menjadi lebih dari tiga puluh negera kecil di bawah pemerintahan raja-raja golongan atau Al-Mulukuth Thawaif, yang berpusat di suatu kota seperti Kerajaan Malaga, Zaragoza, Valencia, Badajoz, Sevilla, dan Toledo.

Perpecahan Negeri2 Andalusia di tahun 1031 (wilayah berwarna putih, merah, kuning, dan biru di bagian utara termasuk kerajaan Kristen)
Para raja-raja kecil itu digelar Mulukuth Thawaif (Raja Lokal) kemudian berseteru dan berperang satu sama lain tanpa sebab yang jelas. Hanyalah karena ingin saling menguasai. Kisah-kisah pengkhianatan, kisah-kisah perebutan puteri cantik dan perebutan harta mewarnai semua perseteruan itu. Mereka tak sadar umat Kristen telah mempersiapkan kekuatan untuk merebut kembali Spanyol. Ironisnya, kalau terjadi perang saudara, ada diantara pihak-pihak yang bertikai itu yang meminta bantuan kepada raja-raja Kristen. Melihat kelemahan dan kekacauan yang menimpa keadaan politik Islam itu, untuk pertama kalinya orang-orang Kristen pada periode ini mulai mengambil inisiatif penyerangan. Meskipun kehidupan politik tidak stabil, namun kehidupan intelektual terus berkembang pada periode ini. Istana-istana mendorong para sarjana dan sastrawan untuk mendapatkan perlindungan dari satu istana ke istana lain.
IV. Periode Kekuasaan Dinasti-dinasti dari Maroko
Pada periode ini Spanyol Islam meskipun masih terpecah dalam beberapa negara, tetapi terdapat satu kekuatan yang dominan, yaitu kekuasaan dinasti Murabithun (086-1143 M) dan dinasti Muwahhidun (1146-1235 M). Dinasti Murabithun pada mulanya adalah sebuah gerakan agama yang didirikan oleh Yusuf ibn Tasyfin di Afrika Utara. Pada tahun 1062 M ia berhasil mendirikan sebuah kerajaan yang berpusat di Marakesy. Ia masuk ke Spanyol atas “undangan” penguasa-penguasa Islam di sana yang tengah memikul beban berat perjuangan mempertahankan negeri-negerinya dari serangan-serangan orang-orang Kristen. Ia dan tentaranya memasuki Spanyol pada tahun 1086 M dan berhasil mengalahkan pasukan Castilia. Karena perpecahan di kalangan raja-raja muslim, Yusuf melangkah lebih jauh untuk menguasai Spanyol dan ia berhasil untuk itu.
Akan tetapi, penguasa-penguasa sesudah ibn Tasyfin adalah raja-raja yang lemah. Pada tahun 1143 M, kekuasaan dinasti ini berakhir, baik di Afrika Utara maupun di Spanyol dan digantikan oleh dinasti Muwahhidun. Pada masa dinasti Murabithun, Saragossa jatuh ke tangan Kristen, tepatnya tahun 1118 M. Di Spanyol sendiri, sepeninggal dinasti ini, pada mulanya muncul kembali dinasti-dinasti kecil, tapi hanya berlangsung tiga tahun.
Pada tahun 1146 M penguasa dinasti Muwahhidun yang berpusat di Afrika Utara merebut daerah ini. Muwahhidun didirikan oleh Muhammad ibn Tumart (w. 1128). Dinasti ini datang ke Spanyol di bawah pimpinan Abd al-Mun’im. Antara tahun 1114 dan 1154 M, kota-kota muslim penting, Cordova, Almeria, dan Granada, jatuh ke bawah kekuasaannya. Untuk jangka beberapa dekade, dinasti ini mengalami banyak kemajuan. Kekuatan-kekuatan Kristen dapat dipukul mundur. Akan tetapi tidak lama setelah itu, Muwahhidun mengalami keambrukan.
Pada tahun 1212 M, tentara Kristen memperoleh kemenangan besar di Las Navas de Tolesa. Kekalahan-kekalahan yang dialami Muwahhidun menyebabkan penguasanya memilih untuk meninggalkan Spanyol dan kembali ke Afrika Utara tahun 1235 M. Keadaan Spanyol kembali runyam, berada di bawah penguasa-penguasa kecil. Dalam kondisi demikian, umat Islam tidak mampu bertahan dari serangan-serangan Kristen yang semakin besar. Yang pertama hancur adalah Toledo yang jatuh pada tahun 1085 di mana Raja Al Qadir Adzdzunnuniyah menyerah kepada Raja Leon Alfonso VII. Kemudian Mustansir al-Mudiayah menyerah kepada Ramire II dari Aragon. Kerajaan Cordova yang terbesar di Andalusia jatuh pada tahun 1236 dan Kerajaan kedua terbesar Sevilla luluh-lantak dan takluk pada tahun 1248.

Masjid Cordova
Keruntuhan Cordova tidak saja diratapi oleh Umat Islam, tetapi juga seorang penulis Kriten Stanley Lane Poole dalam bukunya “The Mohammadan Dynasties” mengakui betapa mundurnya peradaban Andalusia setelah runtuhnya kerajaan Islam Cordova. Pengakuan dunia Kristen terhadap peradaban Islam Cordova dapat dibuktikan dengan permintaan Inggris agar pemuda pemuda Inggris dapat menuntut ilmu di Universitas Cordova. Surat Raja Inggris itu diterima oleh Sultan Hisyam III yang berbunyi antara lain, “Kami telah mendengar kemajuan Ilmu dan industri di Negara Paduka Yang Mulia. Karenanya kami bermaksud mengirim putera-puteri terbaik kami untuk menimba ilmu di Negara Paduka Yang Mulia agar ilmu pengetahuan tersebar ke negeri kami yang dikelilingi kebodohan dari empat penjuru. (Wajah Dunia Islam oleh Dr Muhammad Sayid al-Wakil).
V. Periode Keraajaan Granada
Sisa-sisa umat Islam di Andalusia itu masih dapat bertahan dan bangun kembali di Granada, di bawah dinasti Bani Ahmar (1232-1492). Peradaban kembali mengalami kemajuan seperti di zaman Abdurrahman an-Nasir. Akan tetapi, secara politik, dinasti ini hanya berkuasa di wilayah yang kecil. Universitas Granada dan Istana Al Hambra yang termasyhur itu pun dibangun walau di tengah ancaman tentara musuh.


Istana Al-Hambra
Kekuasaan Islam yang merupakan pertahanan terakhir di Spanyol ini berakhir karena perselisihan orang-orang istana dalam memperebutkan kekuasaan. Abu Abdullah Muhammad merasa tidak senang kepada ayahnya karena menunjuk anaknya yang lain sebagai penggantinya menjadi raja. Dia memberontak dan berusaha merampas kekuasaan. Dalam pemberontakan itu, ayahnya terbunuh dan digantikan oleh Muhammad ibn Sa’ad. Abu Abdullah kemudian meminta bantuan kepada Ferdenand dan Isabella untuk menjatuhkannya. Dua penguasa Kristen ini dapat mengalahkan penguasa yang sah dan Abu Abdullah naik tahta. Tentu saja, Ferdenand dan Isabella yang mempersatukan dua kerajaan besar Kristen melalui perkawinan itu tidak cukup merasa puas. Keduanya ingin merebut kekuasaan terakhir umat Islam di Spanyol. Abu Muhammad Abdullah IX tidak kuasa menahan serangan-serangan orang Kristen tersebut dan pada akhirnya mengaku kalah. Akhirnya keemasan Granda Kerajaan Islam terakhir di Andalusia setelah ratusan tahun memencarkan sinarnya ke seluruh penjuru Eropa hilang dan sirna. Dengan demikian berakhirlah kekuasaan Islam di Spanyol tahun 1492 M.
Umat Islam setelah itu dihadapkan kepada dua pilihan, masuk Kristen atau pergi meninggal Spanyol. Umat Islam pun terusir dengan pedihnya dari bumi Andalusia. Hanya yang mau meninggalkan Islam (murtad) yang boleh tinggal. Yang tetap beriman kepada Allah bersama Raja Abu Muhammad di persilahkan naik ke kapal dan berlayar menuju Afrika Utara menyeberangi Selat Gibraltar. Kalau dulu Tariq menyeberanginya dengan kepala tegak penuh semangat dan optimisme, namun Abu Muhammad berlayar dengan sedih dan menundukkan kepala dengan penuh keaiban. Tanggal 2 Januari 1492 itu tercatat sebagai pemurtadan besar-besaran yang pernah terjadi dalam sejarah. Baik Cordova maupun Granada hancur lebur bersama kitab-kitabnya berikut peradabannya. Pada tahun 1609 M, boleh dikatakan tidak ada lagi umat Islam di daerah ini.
Mengenai jatuhnya Granada yang merupakan salah satu pusat ilmu pengetahuan ini, ilmuwan sekelas Emmanuel Deutch berkomentar, “Semua ini memberi kesempatan bagi kami (bangsa Barat) untuk mencapai kebangkitan (renaissance) dalam ilmu pengetahuan modern. Oleh karena itu, sewajarnyalah jika kami selalu mencucurkan airmata manakala kami teringat saat-saat terakhir jatuhnya Granada.” (M. Hashem, Kekaguman Dunia Terhadap Islam, hlm. 100)
Perkembangan Iptek (masih ngopi utuh2 dari artikelnya islamuda.com :D)
Membicarakan pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi di Spanyol, tak bisa lepas dari kerja besar pembangunan peradaban yang dilakukan para pembawa risalah Islam ke kawasan Eropa itu. Tak bisa juga dipisahkan dari kajian etika serta syari’at Islam yang didakwahkan para da’i. Itulah yang mendorong semangat para ilmuwan Muslim Spanyol: Pengetahuan itu satu karena dunia juga satu, dunia satu karena Allah juga satu. Prinsip “tauhid” semacam ini yang menjadi koridor berpikir para ilmuwan muslim dalam mengembangkan sains dan teknologi.
Tak mengherankan jika temuan-temuan para ilmuwan muslim pada zaman ini sangat revolusioner. Jauh sebelum Wilbur Wright dan Oliver Wright menemukan pesawat terbang pada abad 20, usaha menemukan alat transportasi penerbangan sudah dilakukan oleh Abu Abbas Al-Fernass. Bahkan ia sudah mencoba terbang, meski kendaraan yang ditemukannya tak sempurna. Sayangnya, sejarah peradaban dunia Islam yang berbasis di Andalusi, Spanyol itu, tak terekam oleh Barat. Sementara catatan-catatan sejarah Islam, ditutup rapat untuk tak dijadikan referensi.
Toh sejarah tak bisa berdusta. Demikian halnya dalam pengembangan ilmu kedokteran oleh para pakar muslim. Selain Ibnu Rusyd, adalah Az-Zahrawi yang dikenal sebagai orang pertama yang memperkenalkan teknik pembedahan manusia. Az-Zahrawi yang lahir dekat Cordova pada 936 Masehi, dikenal sebagai penyusun ensiklopedi pembedahan yang karya ilmiahnya itu dijadikan referensi dasar bedah kedokteran selama ratusan tahun. Sejumlah universitas, termasuk yang ada di Barat, menjadikannya sebagai acuan.
Demikian halnya kontribusi ilmuwan Islam di bidang astronomi. Adalah Az-Zarqalli, astronom muslim kelahiran Cordova yang pertama kali memperkenalkan astrolabe. Yaitu suatu instrumen yang digunakan untuk mengukur jarak sebuah bintang dari horison bumi. Penemuan ini menjadi revolusioner karena sangat membantu navigasi laut. Dengan demikian, transportasi pelayaran berkembang pesat selepas penemuan astrolabe. Sementara pakar geografi, Al-Idrisi, yang lahir di Ceuta pada 1099 Masehi, setelah menuntut ilmu di Cordova juga menemukan dan memperkenalkan teknik pemetaan dengan metode proyeksi. Suatu metode yang sama dengan yang dikembangkan Mercator, empat abad kemudian.
Eropa Berhutang Budi Temuan sains dan teknologi, serta kajian filsafat Muslim Spanyol, mengalir ke seluruh kawasan ibarat mengairi kekeringan kehidupan intelektual Eropa. Para pelajar dari Eropa Barat memenuhi perpustakaan-perpustakaan serta kampus-kampus perguruan tinggi yang dibangun oleh ilmuwan muslim di sana.
Pola pendidikan yang dikembangkan para ilmuwan muslim di sana, sungguh memikat para pelajar dari Eropa. Dalam kitabnya yang berjudul Muqaddimah, ulama Muslim terkemuka Ibnu Khaldun menilai metode pendidikan yang dikembangkan saat itu sebagai “Mengarahkan seseorang untuk mengerti sesuatu melalui apa yang dikerjakannya”. Secara sederhana Ibnu Khaldun menyebutnya sebagai “Metode belajar dengan hati” atau “Learning by doing” dalam bahasa kita sekarang.
Kondisi inilah yang mencerahkan paradigma berpikir orang-orang Eropa. Menurut Montgomery, cukup beralasan jika kita menyatakan bahwa peradaban Eropa tidak dibangun oleh proses regenerasi mereka sendiri. Tanpa dukungan peradaban Islam yang menjadi “dinamo”nya, Barat bukanlah apa-apa.
Inilah yang sesungguhnya menjadi momentum Eropa memasuki masa Renaissance. Pada abad sembilan, demikian Montgomery, Universitas Cordoba menjadi gerbang Eropa memasuki zaman pencerahan. Sayangnya orang-orang Eropa merasa pencerahan mereka berawal pada abad enam belas dari Florence di Italy.
Yaitu pada saat pemimpin Eropa bersepakat ‘meninggalkan’ agama dalam segala aspek kehidupan dan mengembangkan apa yang disebut sekularisme. Akibatnya, keagungan peraaban Islam yang dibangun di Spanyol berakhir dengan tragis. Yaitu pada saat penguasa di sana menghancurkan semua karya pemikiran para ilmuwan muslim. Tidak hanya karya-karyanya yang dimusnahkan, para ilmuwannya pun disingkirkan. Ibnu Massarah diasingkan, Ibnu Hazm diusir dari tempat tinggalnya di Majorca, kitab-kitab karya Imam Ghazali dibakar, ribuan buku dan naskah koleksi perpustakaan umum al Ahkam II dihanyutkan ke sungai. Ibnu Tufail, Ibnu Rushdy disingkirkan. Nasib yang sama, juga dialami Ibnu Arabi.
Akhirnya, kebijakan bumi hangus tersebut telah menyebabkan kesulitan merekonstruksi perjalanan sejarah Islam di Sevila, Cordoba, dan Andalusia sebagai bukti keagungan peradaban Islam di Spanyol tidak bias dipungkiri, meski kemudian sirna dihancurkan dalam Perang Salib.
Referensi tulisan ini diambil dari beberapa sumber di internet:
-http://www.cybermq.com/index.php?pustaka/detail/10/1/pustaka-159.html
-http://www.dudung.net/print-artikel/spanyol-mutiara-islam-yang-hilang.html
-http://www.gaulislam.com/jabal-thariq-gerbang-penyebaran-islam-ke-eropa
-http://alhijrah.cidensw.net/index.php?option=com_content&task=view&id=112&Itemid=1
-http://www.indomedia.com/sripo/2003/04/04/0404op1.htm
-http://en.wikipedia.org/wiki/Timeline_of_the_Muslim_presence_in_the_Iberian_peninsula
-http://www.islamuda.com/?id=232&imud=rubrik&kategori=5&menu=baca
- http://en.wikipedia.org/wiki/Al-Andalus
-http://en.wikipedia.org/wiki/Caliph_of_Córdoba

Al-Jabiri

Latar Belakang
Seperti halnya pemikir-pemikir Islam kontemporer lainnya, Al Jabiri mengawali pemikirannya untuk menjawab pertanyaan besar ‘Apa yang menyebabkan kemunduran Islam ? dan bagaimana mengatasinya “
Al Jabiri menjawab bahwa penyebab kegagalan kebangkitan Islam adalah karena upaya kebangkitan itu menyimpang dari mekanisme yang semestinya. Islam dan Tradisi
Al Jabiri berkeyakinan bahwa mekanisme kebangkitan diawali dengan seruan berpegang pada tradisi atau kembali pada prinsip-prinsip dasar, tetapi bukan berarti menjadikan prinsip-prinsip dasar masa lalu sebagai landasan kebangkitan yang dihadirkan sebagaimana adanya, tetapi sebagai dasar melakukan kritik terhadap masa kini dan masa lampau yang lebih dekat, kemudian melompat ke masa depan. Prinsip dasar dari masa lalu yang jauh kemudian ditafsirkan dalam bentuk yang sesuai dengan nilai-nilai baru. Konsep ini lahir mengaca terhadap kebangkitan Eropa. Eropa modern bangkit karena mekanisme kembali ke prinsip-prinsip dasar sebagai acuan dan titik tolak dengan cara menghidupkan kembali warisan Yunani – Romawi abad 12 M yang menandai era bangkitnya “humanisme”, revolusi pemberontakan terhadap nilai-nilai gereja abad tengah. Begitupun dengan Islam. Islam datang di daerah Arab saat dilanda kegalauan social dan metafisis, karena perseteruan antara elit Quraisy sebagai penguasa ekonomi dan politik dengan kaum hunafa yang mendakwahkan tauhid. Dengan sendirinya Islam terlibat konflik dengan kekuatan lama dan konservatif. Sementara Islam menyerukan kembali ke prinsip-prinsip dasar yakni agama hanifiah Ibrahim.
Al Jabiri sangat mengecam pengekangan akal baik yang terjadi pada Islam maupun gereja. Proses kritisasinya diawali dengan tradisi. Menurutnya Arab telah melakukan pembeaan tradisi, yakni segala yang secara asasi berkait dengan aspek pemikiran dalam peradaban Islam (akidah sampai tasawuf) dalam rangka mempertahankan identitas diri dari ancaman asing. Tradisi dijadikan tameng untuk berlindung.
Kedua, tradisi mengukuhkan otoritasnya sehinga menimbulkan wacana memori yang semakin jauh dari realitas. Titk tolak pemikiran bukan dari realitas, tetapi memori yang diadopsi dari tradisi sehingga realitas kontemporer dibaca dari perspektif tradisi. Akhirnya produksi dari kedua hal tersebut mengarahkan metode, konsep dan pikiran pendahulu dan persoalannya. Al Jabiri mengungkapkan hal ini sebagai otonomi relatif tradisi. Tradisi sudah kehilangan historitasnya. Tidak lagi dipandang secara objektif. Tuntutan-tuntutan ideologis saat ini pun menentukan jenis dan bagian mana yang harus diikuti. Tradisi menjadi sangat sacral yang dihasilkan oleh ulama’ atau tokoh-tokoh yang jauh dari kesalahan. Semuanya dikaitkan dengan proses mnalar Arab yang dianggapnya sudah mengalami banyak pengekangan.

Nalar Arab
Al Jabiri membandingkan Nalar Arab (Pemikiran Arab) dengan Yunani dan Eropa modern. Nalar dalam kebudayaan Yunani dan Eropa modern berkaitan dengan upaya memahami sebab, yakni pengetahuan, maka makna Nalar Arab dalam bahasa dan konsekuensi juga dalam pemikiran Arab, pada dasarnya berkaitan dengan perilaku dan akhlak. Namun, sangat dimungkinkan bahwa Nalar dalam pemikiran Arab juga merambah wilayah pengetahuan. Dalam pemikiran Yunani –Eropa, akhlak debangun berdasarkan pengetahuan, sedang pada pemikiran Arab pengetahuan dibangun berdasarkan akhlak. Pengetahuan bukan dengan menyingkapkan hubungan-hunungan yang merajut fenomena-fenomena alam satu sama lain, bukan aktivitas dengan alam, tetapi membedakan objek pengetahuan (baik inderawi ataupun social) antara baik dan buruk. Peran akal mengarahkan perbuatan baik dan mencegahnya dari perbuatan tercela, dengan mengacu pada Al Qur’an misalnya Al A’raf:179:

Filsafat Agama Bag II

A.Pengertian dan Definisi
Apa itu filsafat? Dengan pertanyaan itu kita telah memasuki medan filsafat, karena pertanyaan yang dimulai dengan apa merupakan salah satu pertanyaan filsafat. Pertanyaan demikian dijawab dengan pengertian. Pengertian dirumuskan dengan definisi. Sedangkan definisi filsafat terdapat perselisihan di antara para filosof. Filosof menurut Herbert berpendapat, bahwa kewajiban filsafat ialah mengerjakan pengertian-pengertian yang dipakai oleh ilmu-ilmu yang lain. Dalam kerjanya, ilmu mulai dengan pertanyaan apa tentang sesuatu yang dihadapinya. Menjawabnya dengan pembentukan pengertian, pengertian itu dirumuskan oleh ss (takrif). Adapun yang membentuk pengertian dan merumuskan definisi itu adalah filsafat. Sedangkan menurut Kant, filsafat adalah pokok dan pangkal segala pengetahuan dan pekerjaan. Ada 4 pertanyaan yang menggariskan lapangan filsafat:1. Apa yang bias kita ketahui? Dijawab oleh filsafat metafisika,
2. Apa yang boleh kita kerjakan? Dijawab oleh filsafat etika,
3. Sampai dimanakah pengharapan kita? Dijawab oleh filsafat agama,
4. Apakah yang dinamakan manusia? Dijawab oleh filsafat antropologi.
Jenis agama. Ada dua jenis agama: agama budaya-ardhi dan agama langit-samawi, menurut kepustakaan barat menyebut natural religion (agama alam) dan revealed religion (agama wahyu). Kajian agama secara etimologi menurut bahasa Sansekerta (Indo Jerman) bahwa akar kata a-gam-a ialah gam yang berarti pergi atau berjalan (dalam bahasa Belanda gaan, Inggris go). Istilah pergi atau jalan kemana? Menurut agama Hindu jalan menuju ke Nirvana, menurut Islam: syari’at, thariqah, shirathal mustaqim (jalan lurus), peristilahan Cina: tao; peristilahan Jepang: shinto, menurut Budha jalan delapan; dan menurut Tuhan Nasrani, “Yesus” berkata kepada pengikut-pengikutnya: “ikutlah jalanku”. Jadi, pemaknaan agama-agama: umumnya ditemukannya jalan pada batinnya.
Adapun keselarasan antara filsafat dan agama menurut al-Kindi di dasarkan pada 3 alasan: (1) Ilmu agama merupakan bagian dari filsafat, (2) Wahyu yang diturunkan kepada Nabi dan kebenaran filsafat saling bersesuaian, (3) menuntut ilmu, secara logika, diperintahkan dalam agama.
* Dua Tradisi Besar Filsafat:
a) Filsafat Tradisional, “the perennial philosophy” yang sering dibahas “Yang Suci” (The Secred) atau “Yang Satu” (The One) dalam satu manifestasinya, seperti dalam agama, filsafat, sains dan seni.
b) Filsafat Modern : justru sebaliknya. Yakni, membersihkan “Yang Suci” dan “Yang Satu” dari alam pemikiran filsafat, sains dan seni – telah benar-benar dikosongkan dari adanya “Yang Suci” atau dilepaskan dari kesadaran kepada “Yang Satu”.
Jadi filsafat agama. Bertolak dari definisi filsafat, adalah takrif filsafat agama: system kebenaran tentang agama sebagai hasil berpikir secara radikal, sistematis dan universal. Dasar-dasar agama yang dipersoalkan dipikirkan menurut logika (teratur dan berdisiplin) dan bebas. Ada 2 bentuk filsafat agama, yakni filsafat agama pada umumnya dan filsafat sesuatu agama.
B. Kajian Filsafat Agama dalam Perspektif Filosof Muslim
Persesuaian antara filsafat dan agama sudah sepantasnya dianggap sebagai ciri terpenting filsafat Islam. Yang dalam perkembangannya terdapat pertentangan-pertentangan antara filosof dengan fuqaha dan teolog pada tingkat argumentatifnya.
Adapun kajian filsafat agama dalam perspektif filosof Muslim telah banyak menyumbang akan pesatnya perkembangan peradaban dalam Islam. Mula-mulanya para filosof Muslim terkemuka bermula sebagai ilmuwan, yang kemudian beralih sebagai filosof, yakni filosof adalah orang yang berani dalam pemikiran, selanjutnya berani dalam sikap hidup dan pandangan dunia sebagai hasil dari pemikiran itu (seperti: al-Farabi, ibn Sina, ibn Rusyd dan yang lainnya).
Bahkan dalam hal ini al-Kindi diklasifikasikan sebagai filosof alami, meskipun al-Kindi sering kali memberi keseimbangan atas hasil karya filosof Yunani; misalnya, risalah al-Kindi tentang filsafat awal, bahwa “filsafat adalah pengetahuan tentang hakikat segala suatu dalam batas-batas kemampuan manusia, karena tujuan para filosof dalam berteori ialah mencapai kebenaran, dan dalam berpraktek, ialah menyesuaikan dengan kebenaran.” Pada akhir risalahnya, ia menyifati Allah dengan istilah “kebenaran”, yang merupakan tujuan filsafat. “Maka Satu Yang Benar (al-Wahid al-Haq) adalah yang pertama, Sang Pencipta, Sang Pemberi Rizki semua ciptaan-Nya…” pandangan ini berasal dari filsafat Aristoteles, tetapi ‘Penggerak Tak Tergerakkan’ (Unmoveable Mover)-nya Aristoteles diganti dengan sang ‘Pencipta’; perbedaan ini menjadi inti system filsafat al-Kindi.
Doktrin al-Farabi untuk mencapai kesesuaian antara filsafat dan agama telah dikritik oleh al-Ghazali, namun sikap heran sementara ditujukan oleh ibnu Sina dan ibn Rusyd yang sekaligus keduanya terkagum akan karya al-Farabi. Ibn Sina mengikuti sepenuhnya teori al-Farabi tentang kenabian dan Ibn Rusyd mengakui keabsahan teori ini. Karya al-Farabi yang selain tentang teori kenabian antara lain: 1. Logika, 2. Kesatuan Filsafat, 3, Teori 10 Kecerdasan, 4. Teori tentang Akal, 5. Penafsiran atas al-Qur’an; dan, 6. Teori tentang Kenabian. “Al-Farabi hampir memandang segala sesuatu sebagai jiwa. Tuhannya adalah jiwa dari segala jiwa, lingkungan-lingkungan astronomisnya diatur oleh jiwa-jiwa langit, dan pangeran kotanya adalah seorang yang jiwa mengatasi tubuhnya”. Spiritualisme ini berakar pada gagasan-gagasan dan konsepsi-konsepsi, dan secara keseluruhan untuk dispekulasikan dan direnungkan . yang Esa adalah renungan tiada tara dan akal yang mengakali diri. Kemaujudan-kemaujudan lainnya disebabkan oleh akal ini. Melalui spekulasi dan perenungan, manusia dapat berhubungan dengan dunia langit dan memperoleh kebahagiaan sempurna.
Lain halnya menurut Muhammad ibn Zakaria al-Razi (seorang rasionalis murni) yang menolak tugas dan fungsi kenabian, terutama menolak mu’jizat (i’jaz) al-Qur’an, baik karena gayanya maupun isinya. Ia lebih menyukai buku-buku ilmiah daripada kitab-kitab suci, sebab buku-buku ilmiah lebih berguna bagi kehidupan manusia daripada kitab-kitab suci. Buku-buku kedokteran, geometri, astronomi dan logika lebih berguna dari pada Injil dan Al-Qur’an. Meskipun ia percaya adanya Tuhan, namun ia tidak mempercayai agama manapun.
C. Krangka Berfikir (Proses Penggunaan Akal) dalam Filsafat Agama
Penjabaran yang mengenai proyeksi akal dalam filsafat agama al-Farabi telah mengelompokkan akal dalam 2, yakni: (1) Akal praktis, yaitu yang menyimpulkan apa yang mesti dikerjakan; dan (2) Akal teoritis, yaitu yang membantu menyempurnakan jiwa. Akal toritis ini dibagi lagi menjadi: yang fisik (material), yang terbiasa (habitual); dan yang diperoleh (acquired). Seiring dengan yang diungkapkan oleh ibn Rusyd, sekali pun ia menyanjung tenaga akal dan mempercayai akan kemampuannya untuk mengetahui, namun ia mempercayai pula, bahwa ada hal yang terletak di luar kemampuan akal untuk diketahuinya. Karena itu ia menyarankan supaya kita haruskembali kepada wahyu yang diturunkan untuk menyempurnakan pengetahuan akal.
Secara garis besar menurut al-Farabi , pikiran manusia biasa akan mencapai kesempurnaannya manakala ia menjadi ‘aql mustafad dalam peringkatnya lebih rendah dari akal aktif terpisah yang melahirkannya, namun ia tetap adalah aktifitas murni dengan caranya sendiri, yang tidak lagi memerlukan kemampuan-kemampuan jiwa rendah untuk operasi-operasinya. Karenanya, dari sudut pandang ini ia dapat dibandingkan dengan akal aktif. Lebih-lebih, pada tahap ini, ia mampu memikirkan akal aktif itu sendiri yang selama ini menjadi satu-satunya agen produktifnya. Jadi, Akal Aktif menjadi bentuk dari ‘aql mustafad dan filsuf yang sempurna, atau iman (atau Nabi) pun muncul. Sebagian atau satu tingkat tertentu dari Akal Aktif (yang dinamakan Roh Kudus) terlibat, suatu bagian yang tetap berada di luar jangkauan dan tak tercapai oleh akal manusia. Klasifikasi akal dari al-Farabi (tak termasuk yang termasuk di atas Akal Aktif) ada lima tahap, yaitu:


AKAL MANUSIA AKAL AKTIF



Akal Akal Akal Roh Akal
potensional actual perolehan Kudus transenden

Akal kenabian
D. tentang filsafat ilmu
Apa yang dimaksud dengan filsafat ilmu?
Filsafat ilmu adalah: penyelidikan tentang ciri-ciri mengenai pengetahuan ilmiah dan cara-cara untuk memperoleh pengetahuan tersebut.
A. jelaskan arti ilmu secara etimologi
Ilmu berasal dari b.arab : alima ya'lamu, ilman, dengan wazan fa'ila yaf'alu yang berarti mengerti, memahami benar-benar.
Pengertian ilmu yang terdapat dalam kamus bahasa Indonesia adalah: pengetahuan tentang suatu bidang yang disusun secara bersistem menurut metode- metode tertentu, yang dapat digunakan untuk menerangkan gejala-gejala tertentu dibidang {pengetahuan} itu.
B. jelaskan beberapa pengertian ilmu menurut beberapa para ahli.
 Mohammad hatta
Ilmu adalah pengetahuan yang teratur tentang pekerjaan hokum kausal dalam suatu golongan masalah yang sama tabiatnya, maupun menurut kedudukanya tampak dari luar, maupunmenurut bangunanya dari dalam 12
 Karl pearson
Ilmu yaitu : lukisan atau keterangan yang komprehensif dan konsisten tentang fakta pengalaman dengan istilah yang sederhana.13
 Harjoso, guru besar antropologi di Universitas pajajaran, menerangkan bahwa ilmu adalah :
a. merupakan akumulasi pengetahuan yang disestematikan.
b. Suatu pendekatan atau metode pendekatan trhadap seluruh dunia ampiris, yaitu dunia yang terikat oleh factor ruang dan waktu, dunia yangada perisipnya dapat diamati oleh panca indra manusia.
c. Suatu cara menganalisis yang mengizinkan kepada para ahlinya untuk menytakan sesuatu proposisi dalam bentuk, jika…..maka…..14

C. apa yanganda fahami tentang : a).pengetahuan, b). ilmu.
a. penetahuan adalah : keseluruhan pengetahuan yang belum tersusun, baik yang mengenai metafisik maupun fisik, atau pengertian pengetahuan informasi yang berupa common sense. Pengertian diibaratkan lidi-lidi yangyang masi h berserakan dipohon kelapa, dipasar dan dipohon lain yang belum tersusun dengan baik.
b. ilmu yaitu : sebagaian pengetahuan yang mempunyai cirri, tanda, syarat tertentu yaitu : sistematik, rasional, emipris, universal, objektif, dapat diukur, terbuka, dan komulatif {bersusun timbun }. Ilmu sudah merupakan bagian yang lebih tinggi dari itu karena memiliki metode dan mekanisme tertentu. Ilmu diibaratkan seperti sapulidi yang sudah diraut dan dipotong ujung dan pangkalnya kemudian diikat, sehingga menjadi sapu lidi.
D. apa perbedaan dan persamaan filsafat dan ilmu?
1. keduanya mencari rumusan yang sebaik-baiknya menyelidiki objek selengkap-lengkapnya sampai keakar-akarnya.
2. keduanya memberikan pengertian mengenai hubungan atau koheren yang ada antara kejadian yang kita alami dan mencoba menunjukkan sebab-sebabnya.
3. keduanya hendak memberikan sintesis, yaitu suatu pandangan yang bergandengan.
4. keduanya mempunyai metode dan system.
5. keduanya hendak memberikan penjelasan tentang kenyataan seluruhnya timbul dari hasyrat manusia (objektivitas ), atau pengetahuan yang lebih mendasar.
E. tujuan filsafat ilmu
1. mendalami unsur-unsur ilmu, sehingga secara menyeluruh kita dapat memahami sumber, hakekat dan tujuan ilmu.
2. memahami sejarah pertumbuhan, perkembangan dan kemajuan ilmu diberbagai sehingga kita mendapat gambaran tentang proses ilmu kontemporer secara histories.
3. menjadi pedoman bagi para dosen dan mahasiswa dalam mendalami studi perguruan tinggi, terutama untuk membedakan persoalan yang ilmiah dan non ilmiah.
4. Mendorong para calon ilmuwan untuk konsisten dalam mendalami ilmu dan pengembanganya.
5. mempertegas bahwa dalam persoalan sumber dan tujuan antara ilmu dan agama tidak ada pertentangan.


F. coba analisis, apa manfaat filsafat umum?
Dengan adanya filsafat ilmu diharapkan mampu mendorong kita untuk lebih kreatif dan inofatif sesuai dengan aturan ilmiah. Filsafat ilmu memberikan spirit bagi perkembangan dan kemajuan ilmu dan sekaligus nilai-nilai yang terkandung dalam setiap ilmu, baik pada takaran antologis, epistemologis, maupu aksiologis.

DAFTAR PUSTAKA

Gazalba, Sidi. “Sistematika Filsafat”, Jakarta: Bulan Bintang, 1992.
Rahman, Fazlur. “Kenabian di Dalam Islam”, Bandung: Penerbit Pustaka, 2003.
Syarif, M.M. M.A. “Para Filosof Muslim”, Bandung: Mizan, 1993.
Mulyadi kartanegara, "epistemologi islam" , bandung: mizan, 2003.
Endang Saifudin Anshori, "Ilmu Filsafat Dan Agama", Surabaya PT: Bina Ilmu, 1987.
Burhanudin salam, "pengantar filsafat" , Jakarta PT: Bina Aksara, 1988.

FILSAFAT ISLAM DAN TANTANGAN MODERNITAS

FILSAFAT ISLAM DAN TANTANGAN MODERNITAS
(dalam kajian islamisasi sains)
Filsafat ???, filsafat merupakan suatu ilmu yang bertujuan untuk mencari kebenaran yang absolute, berbagai cara dan pendekatan yang dapat kita lakukan untuk mencapai kebenaran tersebut, tapi satu hal yang pasti, sesungguhnya kebenaran tidak ada yang absolute. Apa Kaitannya dengan filsafat islam, dapat kita katakan bahwa sesungguhnya filsafat islam sama-sama mencari kebenaran yang hakiki, yaitu Allah ‘azza wa jallah. Sebelum kita teruskan kita sepakati dulu bahwa ini sebatas pembahasan tentang agama islam not else. Filsafat islam terdiri dari wahyu -teks suci- dan akal -rasio. Dan tugas filsafat islam adalah umtuk berbakti kepada agama. Meskipun filsafat berdiri sendiri tapi dia masih bergantung pada agama itu sendiri. Dalam mengahadapi tantangan modernitas yang semakin lama semakin membabi buta maka eksplorasi ajaran dan pemikirannya menjadikan filsafat islam sebagai suatu cara untuk memahami realitas dan konteksitas dari suatu paham tertentu. Yang jelas ketika kita ngomong tantangan modernitas kita pasti akan dihadapkan dengan kemajuan teknologi, dan kemajuan teknologi itu sendiri mayoritas bersumber dari non islam yang notabene adalah orang barat dan orang barat kebanyakan dan hampir semua memakai ajaran atau doktrin dari filsafat barat seperti Marx dengan kapitalisme-nya ; August comte derngan positivisme-nya ; kant, hegel dengan kritisisme-nya; locked and hume dengan empirisme-nya. Itu semua adalah sebagian dari ajaran filsafat barat yang sangat berpengaruh terhadap perkembangan teknologi yang ada pada saat ini.
setelah kita pahami secuil fenomena yang diatas, timbul pertanyaan bagi kita semua yaitu :
Bagaimanakah peranan dari filsafat islam terhadap sains dan teknologi dan berada pada posisi yang mana,
Apakah filsafat islam dapat berkembang sejalan dengan perkembangan teknologi ataukah masih mempertahankan
pemikiran dan ajaran-ajarannya.
Mari coba kita jawab satu demi satu pertanyaan tadi, yang pertama tentang bagaimanakah peranan dari filsafat islam dan berada pada posisi yang mana ?
Peranan dari filsafat islam sebenarnya sangat banyak di dunia teknologi karena filsafat islam mempunyai suatu teks suci yang merangkum semua kejadian dan seluk beluk dari alam dunia, akherat dan alam-alam yang lain. Yang mana semua pemikiran barat dan yunani sudah ada dalam teks suci yang dijadian dasar bagi filsafat islam. Hanya saja para penganut atau dalam hal ini orang islam belum dapat menemukan dan menelaah lebih lanjut satu persatu dari teks suci yang selama ini mereka bangga-banggakan. Hal ini merupakan kesalahan yang sangat fatal jika dibiarkan terus menerus. Dan posisi yang selama ini terjadi adalah filsafat islam banyak mengkonsumsi pemikiran dan ajaran dari barat dan hampir jarang sekali mengeksplorai ajaran mereka. Sehingga kemajuan dalam berpikir yang bebas nilai sulit dilakukan dan kebanyakan dari mereka mengalami kesalahan metodologis dalam mempelajari filsafat islam.
Kita masuk pada pertanyaan yang kedua yaitu apakah filsafat islam dapat berkembang sejalan dengan perkembangan teknologi ataukah masih mempertahankan pemikiran dan ajaran-ajarannya yang tradisional??? Jawaban dari hal ini sebenarnya sangat simple tapi sulilt sekali untuk di implementasikan.but , we must to try this, ok!!! Seperti ini, filsafat islam itu saya yakin pasti bisa berkembang dan bahkan lebih maju dari filsafat barat. Hal ini dapat terealisasi apabila ajaran filsafat islam itu sendiri memegung teguh pada prinsip dan konsepnya sendiri. Keunggulan dari filsafat islam dari barat yaitu bahwa barat hanya mengandalkan dunia empiris dan bersifat ontologis yang sekuler (meskipun dalam ajaran kant ada ajaran spiritulnya yang berkaitan dengan diri sendiri) sedangkan filsafat islam mengenal alam tidak hanya satu melainkan banyak dan kesemua itu adalah bersifat hirarkhi. Mau tidak mau umat islam atau dalam hal ini para filosof Islam harus dapat mengalahkan metode berpikir dari filsafat barat, dan dalam hal ini minimal mereka sampai dalam tataran islamisasi sains seperti yang ada pada tujuan dari kampus kita ini, yaitu islamisasi sains. Sebenarnya islamisasi sains itu sangat baik dan perlu untuk dilakukan karena kita telah paham bahwa semua yang terjadi dengan kemajuan teknologi saat ini adalah sumbernya dari al-qur’an dan hadits. Untuk mencapai tujuan tersebut kita harus paham tentang metodologis filsafat islam seperti apa? Dalam hal ini antara rasionalitas dan teks suci, jangan sampai kita tergolong orang yang hanya memandang sesuatu itu dengan tekstual saja tapi harus paham tentang konteksnya. sebenarnya kalau kita mencoba untuk berpikir dan merenung lebih jauh sebenarnya antara teks suci dan rasionalitas terletak pada tempat yang sejajar (tataran yang sama). Sehingga dapat berjalan beriringan. Hanya saja ketika rasionalitas keluar dari teks suci jangan sampai mengklaim bahwa itu salah, tapi seharusnyalah kita merefleksikan kembali apa yang telah kita pikirkan karena apa yang kita pikirkan pasti akan terwujud. Baik dalam hal apapun dan ini tidak menyangkut masalah axiologis. yang penting kita paham metodologinya. karena metodologi merupakan pisau psikoanalisis untuk menuju islamisasi sains.



FILSAFAT PENDIDIKAN ISLAM

A.Pengertian Filsafat Pendidikan Islam
Filsafat secara harfiah berasal kata Philo berarti cinta, Sophos berarti ilmu atau hikmah, jadi filsafat secara istilah berarti cinta terhadap ilmu atau hikmah. Pengertian dari teori lain menyatakan kata Arab falsafah dari bahasa Yunani, philosophia: philos berarti cinta (loving), Sophia berarti pengetahuan atau hikmah (wisdom), jadi Philosophia berarti cinta kepada kebijaksanaan atau cinta pada kebenaran. Pelaku filsafat berarti filosof, berarti: a lover of wisdom. Orang berfilsafat dapat dikatakan sebagai pelaku aktifitas yang menempatkan pengetahuan atau kebijaksanaan sebagai sasaran utamanya. Ariestoteles (filosof Yunani kuno) mengatakan filsafat memperhatikan seluruh pengetahuan, kadang-kadang disamakan dengan pengetahuan tentang wujud (ontologi). Adapun pengertian filsafat mengalami perkembangan sesuai era yang berkembang pula. Pada abad modern (Herbert) filsafat berarti suatu pekerjaan yang timbul dari pemikiran. Terbagi atas 3 bagian: logika, metafisika dan estetika (termasuk di dalamnya etika).Pendidikan secara harfiah berasal kata didik, yang mendapat awalan pen akhiran an. berarti perbuatan (hal, cara dan sebagainya) mendidik. Kata lain ditemukan peng(ajar)an berarti cara (perbuatan dan sebagainya) mengajar atau mengejarkan. Kata lain yang serumpun adalah mengajar berarti memberi pengetahuan atau pelajaran. Kata pendidikan berarti education (inggris), kata pengajaran berarti teaching (inggris). Pengertian dalam bahasa Arab kata pendidikan (Tarbiyah) – pengajaran (Ta’lim) yang berasal dari ‘allama dan rabba. Dalam hal ini kata tarbiyyah lebih luas konotasinya yang berarti memelihara, membesarkan, medidik sekaligus bermakna mengajar (‘allama). Terdapat pula kata ta’dib yang ada hubungannya dengan kata adab yang berarti susunan.
Dari segi bahasa Arab kata Islam dari salima (kemudian menjadi aslama), kata Islam berasal dari isim masdar (infinitif) yang berarti berserah diri, selamat sentosa atau memelihara diri dalam keadaan selamat. Yakni dengan sikap seseorang untuk taat, patuh, tunduk dengan ikhlas dan berserah diri kepada Allah SWT; sebagaimana seseorang bias disebut Muslim. Selanjutnya Allah SWT memakai kata Islam sebagai nama salah satu agama yang ajaran-ajarannya diwahyukan-Nya kepada manusia melalui Muhammad SAW (sebagai Rasul-Nya). Sebagai agama Islam diakui memiliki ajaran yang komprehensif (al-Qur’an) dibandingkan dengan agama-agama lain yang pernah diturunkan Tuhan sebelumnya.
Setelah dijelaskan satu persatu yang tersebut di atas, diyakini belum dijelaskan secara lebih khusus mengenai apa itu filsafat pendidikan Islam?
Pendapat para ahli yang mencoba merumuskan pengertian filsafat pendidikan Islam, Muzayyin Arifin mengatakan pada hakikatnya adalah konsep berpikir tentang kependidikan yang bersumberkan atau berlandaskan pada ajaran-ajaran agama Islam tentang hakekat kemampuan manusia untuk dapat dibina dan dikembangkan serta dibimbing menjadi manusia (Muslim) yang seluruh pribadinya dijiwai oleh ajaran Islam. Secara sistematikanya menyangkut subyek-obyek pendidikan, kurikulum, metode, lingkungan, guru dan sebagainya. Mengenai dasar-dasar filsafat yang meliputi pemikiran radikal dan universal menurut Ahmad D Marimba mengatakan bahwa filsafat pendidikan Islam bukanlah filsafat pendidikan tanpa batas. Adapun komentar mengenai radikal dan universal bukan berarti tanpa batas, tidak ada di dunia ini yang disebut tanpa batas, dan bukankah dengan menyatakan sesuatu itu tanpa batas, kita telah membatasi sesuatu itu. Dalam artian, apabila seorang Islam yang telah meyakini isi keimanannya, akan mengetahui di mana batas-batas pikiran (akal) dapat dipergunakan.
Dari uraian di atas kiranya dapat kita ketahui bahwa filsafat pendidikan Islam merupakan suatu kajian secara filosofis mengenai berbagai masalah yang terdapat dalam kegiatan pendidikan yang didasarkan pada al-Qur’an dan al-Hadits sebagai sumber primer, serta pendapat para ahli (khususnya para filosof Muslim) sebagai sumber skunder.
A. Ruang Lingkup Filsafat Pendidikan Islam
Secara spesifik ruang lingkup yang mengindikasikan bahwa filsafat pendidikan Islam adalah sebagai sebuah disiplin ilmu. Pendapat Muzayyin Arifin yang berkenaan dengan hal ini menyatakan bahwa mempelajari filsafat pendidikan Islam berarti memasuki arena pemikiran yang serba mendasar, sistematik, terpadu, logis dan menyeluruh (universal) tentang pendidikan, yang tidak hanya dilatar belakangi oleh pengetahuan agama Islam saja, juga berdasarkan mempelajari ilmu-ilmu lain yang relevan. Konsep-konsep tersebut mulai dari perumusan tujuan pendidikan, kurikulum, guru, metode, lingkungan dan seterusnya.
B. Kegunaan Filsafat Pendidikan Islam
Semestinya, bahwa setiap ilmu mempunyai kegunaan, menurut Omar Mohammad al-Toumy al-Syaibani misalnya mengemukakan tiga manfaat dari mempelajari filsafat pendidikan Islam, antaralain:
(1) Filsafat pendidikan itu dapat menolong para perancang pendidikan dan yang melaksanakannya dalam suatu negara untuk membentuk pemikiran sehat terhadap proses pendidikan;
(2) Filsafat pendidikan dapat menjadi asas yang terbaik untuk penilaian pendidikan dalam arti menyeluruh; dan,
(3) Filsafat pendidikan Islam akan menolong dalam memberikan pendalaman pikiran bagi factor-faktor spiritual, kebudayaan, social, ekonomi dan politik di negara kita.
Selain kegunaan yang tersebut di atas filsafat pendidikan Islam juga sebagai proses kritik-kritik tentang metode –metode yang digunakan dalam proses pendidikan Islam, sekaligus memberikan arahan mendasar tentang bagaimana metode tersebut harus didayagunakan atau diciptakan agar efektif untuk mencapai tujuan. Lebih lanjut Muzayyin Arifin menyimpulkan bahwa filsafat pendidikan Islam harus bertugas dalam 3 dimensi, yakni:
(1) Memberikan landasan dan sekaligus mengarahkan kepada proses pelaksanaan pendidikan yang berdasarkan ajaran Islam;
(2) Melakukan kritik dan koreksi terhadap proses pelaksanaan tersebut; dan,
(3) Melakukan evaluasi terhadap metode dari proses pendidikan tersebut.
C. Metode Pengembangan Filsafat Pendidikan Islam
Prihal yang menyangkut metode pengembangan filsafat pendidikan Islam yang berhubungan erat dengan akselerasi penunjuk operasional dan teknis mengembangkan ilmu, yang semestinya didukung dengan penguasaan metode baik secara teoritis maupun praktis untuk tampil sebagai mujtahid atau pemikir dan keilmuan. Asumsi yang terbangun bahwasannya karya Omar Mohammad al-Toumy al-Syaibani (Falsafah Pendidikan Islam) yang tidak membahas metode tersebut. Apalagi mencukupkan sumber analisa hanya pada Plato dan Aritoteles-isme, padahal sefaham dengan para filosof Muslim (al-Kindi, al-Farabi, Ibn Sina, Ibn Rusyd dan yang sealiran dengannya). Kuat kemungkinannya ia terperangkap oleh missi dan strategi Barat yang mensupremasi dalam segala bidang.
Tentang metode pengembangan filsafat pendidikan Islam paling tidak bersumber pada 4 hal, yakni:
(1) Bahan tertulis (tekstual) al-Qur’an, al-Hadits dan pendapat pendahulu yang baik “salafus saleh”– bahan empiris, yakni dalam praktek kependidikan (kontekstual);
(2) Metode pencarian bahan; khusus untuk bahan dari al-Qur’an dan al-Hadits bisa melalui “Mu’jam al-Mufahros li Alfazh al-Karim” karya Muhammad Fuad Abd al-Baqi atau “Mu’jam al-Mufahros li Alfazh al-Hadits” karya Weinsink, dan bahan teoritis kepustakaan serta bahan teoritis lapangan;
(3) Metode pembahasan (penyajian); bisa dengan cara berpikir yang menganalisa fakta-fakta yang bersifat khusus terlebihdahulu selanjutnya dipakai untuk bahan penarikan kesimpulan yang bersifat umum (induktif); atau cara berpikir dengan menggunakan premis-premis dari fakta yang bersifat umum menuju ke arah yang bersifat khusus (deduksi); dan
(4) Pendekatan (approach); pendekatan sangat diperlukan dalam sebuah analisa, yang bisa dikategorikan sebagai cara pandang (paradigm) yang akan digunakan untuk menjelaskan suatu fenomena.
Adapun yang dikembangkan dan dikaji masalah filsafat pendidikan Islam, maka pendekatan yang harus digunakan adalah perpaduan dari ketiga disiplin ilmu tersebut, yaitu: filsafat, ilmu pendidikan dan ilmu ke islam an. sebagaimana uraian terdahulu, yakni sebuah kajian tentang pendidikan yang radikal, logis, sistematis dan universal. Namun cirri-ciri dari berfikir filosofis ini dibatasi dengan ketentuan ajaran Islam.



Filsafat Islam Bag II

Filsafat Skolastik Islam (dalam tinjauan Filsafat dan Politik)1
Pengaruh filsafat dalam perpolitikan di dunia Islam telah dimulai dizaman Mutakallimin. Sebelum kita bicarakan panjang lebar tentang mazhab-mazhab Mutakallimin, maka perlu kita peringatkan bahwa dalam pembahasan-pembahasan Mutakallimin ini umumnya tidak ada pembicaraan mendalam tentang kejadian alam. Hal ini terjadi karena tidak ada perbedaan secara mutlak diantara para Mutakallimin tentang kejadian alam. Dimana pembahasan tentang yang Ada ini hanya terdiri dari dua macam yauitu Al Khalik (Tuhan Pencipta) dan Al Makhluk.(alam semesta termasuk manusia). Alam semesta ini terjadi adalah semata-mata dengan sebab dijadikan Allah (tuhan Pencipta), bukan terjadi dengan sendirinya dan bukan disebabkan oleh sesuatu selain Allah.Mengenai bagaimana tingkatan-tingkatannya kejadian alam semesta itu, mana yang dulu dan mana yang kemudian, dan bagaimana jalan evolusinya itu, ataukah terjadinya itu hanya sekaligus saja, maka hal ini pada umumnya dibicarakan sekadarnya saja oleh para Mutakallimin seperti kaum Mu’tazilah dan golongan Al Asy’ari.
Pembicaraan yang berani dan bertele-tele tentang detailnya kejadian alam itu terdapat pada periode Filsafat Islam oleh Al Farabi dan Ibnu Sina, mereka yang banyak terpengaruh oleh filsafat klassik Yunani. Pembicaraan mereka tentang inilah nanti yang menyebabkan Al Ghazali sangat menentang pembahasan filsafat, sebab dianggap hanya membingungkan saja.
Mengenai ilmu Tauhid, yakni suatu rumusan ilmu tentang kepercayan (Aqa’id) yang sesuai menurut ajaran Islam, terutama soal qadar Tuhan (kekuasaan Tuhan dalam menentukan nasib manusia) adalah akibat persoalan dalam kalangan Islam sendiri, bukan dari pengaruh agama Nasrani. Sebagai titik permulaan dari persoalan ini adalah munculnya pendapat Al Khawarij yang telah mencela sikap Khalifah Ali yang mau berdamai dengan Muawiyah dalam perang Siffin.
Dasar timbulnya kaum Khawarij adalah soal politik. Lalu berubah menjadi soal dogmatik theologies. Mereka menuduh Khalifah Ali bin Abi Thalib lebih percaya pada putusan manusia dan mengesampingkan putusan Allah. Karena itu Khalifah Ali dianggap berdosa besar terhadap Allah. Bahkan dianggap bukan muslim lagi (kafir). Pendapat khusus tentang Ali ini lalu menjadi pendapat umum kaum Khawarij:
“Setiap orang dari ummat Muhammad SAW yang terus meneru berbuat dosa besar dan hingga matinya belum juga tobat, maka orang itu dihukum mati kafir dan kekal dalam neraka”.
Terhadap kewajiban patuh pada Khalifah (Ulil Amri) mereka berpendapat: “Boleh tidak mematuhi peraturan-peraturan khalifah bilamana Khalifah itu ternyata seorang yang zalim atau khianat”.
Sejak itu timbullah masa pemikiran kritis dikalangan umat Islam tentang apakah Islam itu dan sebagainya. Yang lama-lama menjadi soal pembahasan dikalangan ulama-ulama Islam dan melahirkan bermacam-macam mazhab theologies (mutakallimin).
Sama seperti munculnya Khawarij, mazhab Murjiah timbul setelah ibukota kerajaan Islam pindah ke Damsyik (sebab politik). Banyak dari Khalifah-khalifah Bani Umayah dianggap sangat mengesampingkan agama Islam, bertindak sangat kejam dan berbuat dosa. Dalam persoalan ini kaum Murjiah menjawab bahwa;
“Seorang muslim boleh saja melakukan sholat di belakang seseorang yang baik maupun sholat di belakang seseorang yang jahat. Walaupun Khalifah-khalifah itu kejam namun mereka tetap Muslim juga”. Kaum Murjiah menganggap bahwa keputusan tentang baik dan buruknya seorang Khalifah adalah urusan Tuhan dan bukan urusan manusia. Dari segi politik, dogma theologies ini sangat menguntungkan posisi Bani Umayah. Pendapat ini jelas merupakan kebalikan dari pendapatnya Khawarij.
Dogma Murjiah ini mendapat reaksi secara dogmatic pula dari Qadariah (689 M, di Irak, masa Khalifah Abdul Malik bin Marwan). Kaum Murjiah berpendapat kalau Khalifah Umayah membunuh orang, itu sudah ditakdirkan Tuhan. Kemudian kaum Qadariah membatasi qadar itu. Menurut Qadariah:
“Kalau Tuhan itu adil, maka Tuhan akan menghukum orang yang bersalah dan memberi pahala kepada orang yang berbuat baik. Dan manusia harus bebas dalam menentukan nasibnya sendiri dengan memilih perbuatan yang baik atau jahat. Kalau Tuhan itu telah menentukan lebih dulu nasib manusia, maka Tuhan itu zalim. Jadi manusia harus merdeka memilih perbuatannya. Manusia mempunyai kebebasan kehendak”.
“Orang-orang uyang mengajarkan bahwa amal perbuatan dan nasib manusia itu hanyalah tergantung pada qadar Allah saja, dan selamat atau binasanya seseorang itu telah ditentukan oleh Allah sebelum orang itu masuk dunia, adalah sesat. Sebab pengajaran seperti itu bererti menentang ke-Utamaan Allah dan berarti menganggap Tuhan pula yang menjadi sebab kejahatan-kejahatan dari amal manusia”.
Pada masa yang sama dengan Mazhab Qadariah muncul pula Mazhab Jabariah (Khurasan, Persia) yang bersifat thesa dan anti thesa satu sama lain. Daerah timbulnya juga tidak berjauhan. Ini pun ada bingkai politik. Jabariah berpendapat bahwa :
“Hanya Allah sajalah yang menentukan dan memutuskan segala amal perbuatan manusia. Tergantung qodrat dan iradat Allah. Pada hakikatnya segala pekerjaan dan gerak-gerik yang kita lakukan adalah dari Allah SWT. Sedangkan sorga dan neraka itu hanyalah sebagai bukti saja dari tanda kebesaran Allah dalam qadrat dan iradatnya”.
Dalam hal ini Jabariah mendapat serangan yang luar biasa dari mazhab Qadariah dan Ahli Sunnah Waljamaah. Tentu saja kaum Jabariah mengakui ada-Nya Allah sebagai wajibal wujud yang menciptakan sekalian alam ini. Tetapi perselisihannya dari pendapat Ahli sunnah nanti ialah mengenai bagaimana mensifatkan wujud Allah itu. Berlainan dari Ahli Sunnah, mereka mencukupkan saja sifat-sifat keutamaan Allah itu dengan sifat wujud-Nya saja. Menurut Jabariah: “Dalam sifat wujud Allah SWT, telah tercakup segala sifat keutamaan Allah yang lainnya”.
Berbeda dari Qadariah, mazhab Mu’tazilah mendapat pengikut lebih luas dalam kalangan ulama. Beberapa Khalifah yaitu Al Makmun, Al Mu’tashim, dan Al Watsik telah mengakui mazhab Mu’tazilah sebagai mazhab negara (913-947 M). Al Makmun berjasa besar dalam memajukan ilmu pengetahuan dengan penterjemahan buku-buku Yunani, Persia, dsb. Dan pada masa inilah lahirnya ilmu figh, ushul diqh, tafsir dan ilmu hadis. Dan sekitar masa ini pula timbulnya tokoh-tokoh Ahli Sunnah Waljamaah seperti Abu Hanifah (699-767 M), Malik bin Anas (711-786), Muhammad bin Idris As Syafii (767-819), dan Ahmad bin Muhammad bin Hambal (779-855 M). Mazhab Mu’tazilah berpendapat bahwa : “Seorang muslim yang berdosa besar adalah tidak mukmin dan tidak kafir tetapi diantara keduanya”. Menurut Mu’tazilah, “Agama itu berakar pada dua pokok yaitu Wahyu Allah (Al Qur’an) dan Akal Manusia”.
Bagi Mu’tazilah: “Akal adalah sumber pengetahuan. Oleh karena itu manusia harus menaruh keraguan terhadap apa saja. Dalam keraguan itu, pengalaman panca indera adalah sumber pengetahuan yang paling rendah.Sumber pengetahuan yang tertinggi ialah akal. Segala kepercayaan tradisionil yang tidak berdasar harus dibuang dari kehidupan umat Islam. Hadis harus diterima dengan keraguan lebih dulu. Al Qur’an pun harus diterima dengan kritis dalam menafsirkannya, sebab banyak ayat-ayat Al Qur’an yang memakai pengertian perlambang. Pengertian sorga dan neraka jangan diartikan materialistis seperti kebendaan duniawi. Dan shiratalmustakim bukanlah jalan biasa antara sorga-neraka, tetapi harus diartikan sebagai perlambang saja”.
Etika yang ditawarkan Mu’tazilah:
Bahwa “Segala paham yang tidak cocok dengan keadilan Tuhan haruslah dihilangkan dan dibuang jauh-jauh”. Seperti kaum Qadariah mereka berpendapat bahwa “Demi keadilan Tuhan, manusia harus diganjar amal perbuatannya. Karena itu, manusia harus mempunyai kebebasan untuk berbuat apapun”. Menurut Mu’tazilah: “Jika manusia tidak tidak merdeka dalam perbuatan-perbuatannya maka adalah tidak adil jika Tuhan minta pertanggung jawaban dari manusia. Jadi, berbuat adil adalah wajib bagi Allah”.
Dalam soal ini Mu’tazilah jelas tidak sepaham dengan Ahli Sunnah. Menganai kekuasaan Allah itu adalah mutlak tak terbatas (absolut). Jika wajib melakukan, maka itu diartikan Ahlu Sunnah bukanlah absolut lagi, sebab telah dibatasi. Mu’tazilah berpendapat bahwa:
“Allah menciptakan alam ini adalah dengan maksud Baik (Al Ishlah). Allah menciptakan manusia adalah supaya manusia berbahagia. Karena itulah Allah mengirimkan wahyu pada Nabi untuk menuntun manusia menuju kebahagiaan. Pengiriman Nabi itu bukah rahmat semata, tetapi adalah suatu hal yang wajib adanya demi kebahagiaan manusia. Dalam hal ini, manusia merdeka untuk mentaati tuntunan itu atau tidak. Manusia yang menurut akandiberi anugerah, sedang yang tidak menurut akan diberi hukuman. Kalau manusia berbuat baik tetapi sengsara didunia, maka pasti mendapat anugerah Allah SWT di akhirat. Keadilan Allah itu berlaku untuk seluruh manusia, Muslim atau bukan Muslim, serta seluruh makhluk dan isi alam semesta”.
Mengenai persoalan baik dan buruk, kaum Mu’tazilah bertentangan denga Ahli Sunnah. Menurut Ahli Sunnah: “Apa yang diperintahkan Allah SWT adalah baik (hasan), dan apa yang dilarangnya adalah buruk”. Jadi, penilaian baik dan buruk adalah tergantung pada perintah dan larangan Tuhan. Padahal, Mu’tazilah berpendapat bahwa: “Pengertian baik dan buruk itu adalah mutlak atas dirinya sendiri. Karena sesuatu itu adalah baik, maka Allah memerintahkannya. Dan karena sesuatu itu adalah buruk maka Allah melarang melakukannya. Untuk mengetahui perbedaan baik dan buruk itu manusia diberi akal disamping wahyu. Wahyu (Al Qur’an) dan Akal inilah akar pokok agama”.
Metafisika Mu’tazilah :
Bahwa “Segala fikiran yang membahayakan Ke-Esa-an Allah harus dibuang jauh-jauh. Allah sendiri lah Sang Pencipta (Al Khalik) sekalian alam. Allah yang berbuat dan Allah yang menentukan segala yang terjadi. Allah juga yang mengadakan pemeliharaan-pemeliharaan khusus bagi tiap-tiap oknum”. Dimisalkan, “Kalau terjadi perkawinan antara seorang pria dengan seorang wanita kemudian lahir daripadanya seorang anak, maka itu bukanlah semata-mata karena bercampurnya benih jantan dan benih betina dari keduanya (seperti pendapat Aristoteles), tetapi terjadinya bayi itu adalah atas ciptaan Allah. Tanpa ciptaannya tidak mungkin benih-benih itu tumbuh”.
Menurut Aristoteles, peristiwa seperti itu adalah detail yang tidak lagi ditangan Tuhan. Hal itu telah terserah pada kuasa hokum alam. Sedang Tuhan hanya menguruskan pemeliharaan yang umum atau garis besarnya saja.
Bagi Mu’tazilah, hukum alam yang berdiri sendiri tidak ada. Hukum alam sebenarnya adalah sunnatullah. Karena itu, Mu’tazilah menolak keabadian hokum alam. Hukum alam dapat berobah setiap Allah menghendaki.
1. Tauhid
Mu’tazilah menentang cara-cara anthropo-morphisme yang membayangkan Allah sebagai manusia (tajsim). Dan mengenai sifat-sifat Allah, mereka tidak mengakui sifat-sifat Allah SWT yang berdiri sendiri. Kalau Allah itu mempunyai sifat maka sifat-sifat itu adalah abadi. Kalau sifat-sifat itu abadi maka berarti disamping Allah itu ada pula hal-hal yang abadi. Kalau disamping Allah SWT ada hal-hal yang abadi, maka itu menyalahi tauhid dalam agama Islam.
Menurut Mu’tazilah, Yang abadi itu hanya Allah saja. Dia Maha Esa, Al Wahid, Al Ahad. Dan karena Allah itu Satu, maka Allah itu tidak boleh dibayangkan mempunyai sifat, baik sifat yang didalam Allah ataupun sifat diluar Allah. Tidak boleh dikatakan bahwa Allah itu tahu karena pengetahuan atau hidup karena kehidupan.
Apa yang disebut atau dianggap sifat itu tidak dapat dipisahkan dari Allah SWT sendiri. Allah tahu sama dengan Allah berkuasa, sama dengan Allah hidup, sama dengan Allah melihat, mendengar, dan sama saja dengan Allah itu ada.
Mu’tazilah berpendapat bahwa “Kita percaya bahwa Allah itu ada, karena adanya akal kita yang telah diciptakan Allah untuk kita sehingga kita mengenal Allah SWT itu ada. Dengan akal lah kita mengenal kebenaran dan dengan akal lah kita dapat meraih kebahagiaan”.
Dala soal ini Ahli Sunnah mengatakan bahwa “Manusia wajib percaya bahwa Allah itu ada karena ada dalam Al Qur’an dan ada dalamHadis (diajarkan Nabi Muhammad SAW)”.
Kalau ada kertas maka mesti ada yang membuat kertas , kalau ada pembuat kertas mesti ada Pembuat dari pembuat kertas. Jadi, kalau ada suatu kejadian mesti ada sebab yang menyebabkan. Kalau ada sebab maka harus ada yang menyebabkan sebab itu. Begitu seterusnya. Kalau kita tidak mengadakan suatu “akhir” maka kita akan berbicara absurd (sia-sia tanpa hasil). Harus ada Sebab Pertama dari segala yang ada, dan causa prima itu adalah Allah SWT.
2. Al Qur’an
Mengenai kejadian Al Qur’an, Mu’tazilah berselisih besar dengan Ahli Sunnah, yang menjadi salah satu alasan penyebab jatuhnya Mu’tazilah. Mulanya hal itu berpangkal pada tafsir bagaimana kita mengartikan Allah berkata. Apakah Allah berkat-kata seperti manusia?
Ahli Sunnah berpendapat : “Firman Allah itu bersifat abadi, tak pernah berhenti atau putus. Sama seperti Qodrat dan ilmu. Tanpa awal dan akhir. Dan karena Al Qur’an itu adalah firman Allah, maka Al Qur’an pun bersifat abadi,, tidak punya awal dan ke-akhir-an. Jadi senantiasa ada dan tidak putus”. Mu’tazilah membantah demikian: “Suara Allah dalam firman-Nya itu adalah tercipta pada suatu saat dengan benih ciptaan tertentu dan suara yang diciptakan Allah itulah yang terdengar oleh Muhammad SAW. Jadi suara itu bukan sifat Allah, bukan suara yang abadi dan bukan suatu atribut allah. Suara Al Qur’an adalah makhluk-Nya, dengan makhluk ini Allah menerangkan kehendak-Nya. Makhluk ini tidak abadi. Yang abadi hanyalah Allah semata. Tidak mungkin ada yang kekal selain Allah SWT”.
Mu’tazilah adalah golongan yang amat kritis, bukan saja terhadap cara-cara penafsiran Al Qur’an dan Hadis tetapi juga kritis terhadap pengaruh-pengaruh ajaran filsafat klassik Yunani (Aristoteles dan Neo-Platonisme).

Sebelum timbulnya mazhab-mazhab di atas, orang belum mengkhususkan suatu mazhab dengan istilah “Ahli Sunnah wal Jama’ah (ASWAJA)”, sebab semua umat Islam dianggap sebagai ahli sunnah Nabi SAW. Tetapi ketika timbul bermacam-macam mazhab ilmu kalam, terutama aliran Mu’tazilah yang amat meragukan kebenaran sunnah Nabi dan ingin menafsirkan Al Qur’an dengan filsafat saja, maka sebagai reaksinya timbullah gerakan yang dinamakan Ahli Sunnah wal Jama’ah ang ingin membela sunnah Nabi dikalangan ummat mayoritas Islam.
Mula-mula Ahli Sunnah dipimpin oleh tokoh-tokoh yang lebih mementingkan dalil-dalil nakliah Qur’an dan Hadis saja daripada dalil-dalil akali yang berdasar logika. Sehingga mazhab ini sangat kolot dan mundur dalam hal intelektulisme. Setengah abad kemudian barulah mazhab ini mendapatkan dasar-dasar dogmatic yang kuat dalam menghadapi filsafat theologies kaum Mu’tazilah. Waktu itu ada dua ulama besar yang pendapat-pendapatnya dapat diterima sebagai pendapat Ahli Sunnah yaitu Abul Hasan Al Asy’ari (873-935M) dan Abu Manshur Al Maturidi (wafat 944 M).
Bilau-beliau inilah yang menyusun teori dogmatiknya dengan sangat mengindahkan penyesuaian antara Al Qur’an dan Hadis dengan logika akal. Pendapat kedua ulama ini terutama Al Asy’ari amatlah berpengaruh dan diterima oleh mazhab Ahli Sunnah sesudahnya. Meskipun dibanding pendapat Ahli Sunnah sebelumnya, pendapat Al Asyari itu ternyata banyak juga perbedaannya. Berikut ini dijelaskan pendapat-pendapat Ahli Sunnah sebelum masa Al Asy’ari serta pendapat-pendapat Ahli Sunnah menurut Al Asy’ari dan Al Maturidi.
Etika Ahli Sunnah :
Menurut Ahli Sunnah: ”Apa yang diperintahkan Allah itu baik dan apa yang dilarang itu buruk”. Hal ini berarti tidak ada kebaikan yang mutlak dan tidak ada kejahatan yang mutlak karena semua itu hanyalah menurut perintah Allah saja. Ahli Sunnah meyakini bahwa:
“Orang-orang yang mengerjakan dosa besar atau meninggalkan kewajiban-kewajiban agama apabila sampai mati belum tobat, mereka dihukumkan sebagai orang mukmin yang melakukan maksiat. Diakhirat kelak Allah berkuasa mengampuninya. Tetapi apabila tidak diampuni Allah, mereka akan masuk neraka untuk menjalani hukumannya. Dan apabila azab hukuman itu telah dijalani, mereka mempunyai harapan besar untuk masuk surga”.
Artinya mereka tidaklah kekal di dalam neraka. Hal ini bertolak belakang dengan pendapat Mu’tazilah. Menurut Mu’tazilah: “Orang yang berdosa besar dan meninggalkan kewajibannya dan tidak tobat maka hukumnya fasik. Dan orang fasik itu kekal di neraka”.
Ahli Sunnah menganggap:
“Kekuasaaan Allah itu absolut tak terbatas. Dan keadilan itu terletak pada kehendak-Nya”. Sedangkan Mu’tazilah mengatakan bahwa; “Allah itu wajib adil”. Sedangkan menurut Ahli sunnah:
“Wajib itu tidak ada bagi Allah. Sebab kalau Allah diwajibkan melakukan sesuatu maka itu berarti kekuasaan-Nya telah terbatas. Kalau Allah mengirimkan Nabi-Nabi maka itu bukan lah kewajiban Allah, tetapi hanya rahmat-Nya semata bagi makhluk-Nya”.
Dalam hal ini harus dimaknai bahwa segala perbuatan Allah itu tidak ada yang hampa dan tidak pernah kosong dari hikmah kebijaksanaan walaupun akal manusia belum atau tidak dapat menangkapnya.
Ahli Sunnah mengakui bahwa:
“Setiap orang memang benar memiliki kasab (usaha) dan ikhtiar (pemilihan bebas) dalam segala perbuatannya, tetapi hal itu tidak bisa lepas daripada qadar yang ditentukan Allah dan tidak bisa lepas dari pengetahuan dan kehendak-Nya”.
Harus dimaknai bahwa manusia hanya sekedar mempunyai ikhtiar, hasrat, dan niat dalam segala amal perbuatannya itu. Dan inilah yang dinamakan kasab itu. Akan tetapi, meskipun segala perbuatan manusia itu semuanya daripada Allah SWT namun tidaklah sewajarnya kalau hal itu berarti Allah menghendaki perbuatan jahat seperti yang dikatakan kaum Qadariah.
Selanjutnya dikatakan Ahli Sunnah bahwa:
• “Iman adalah kepercayaan didalam hati yang diucapkan dengan lisan, sedang amal perbuatannya merupakan syarat sempurnanya iman itu”
• “Orang yang berbuat dosa besar kemudian meninggal belum bertobat, hukumnya terserah pada Allah”
Metafisika Ahli Sunnah:
Dalam soal metafisika inilah tamapak jasa besar Al Asy’ari dan Al Maturidi dalam merasionalisir faham Ahli Sunnah. Banyak terdapat perbedaan antara ulama Ahli Sunnah sebelum dan sesudahnya. Alam pikiran mazhab Ahli Sunnah sendiri berobah setelah zaman Al Asy’ari dan Al Maturidi ini. Jasa Al Asy’ari dan Al Maturidi akan kita simak terutama dalam soal adanya Allah (Tuhan), Al Qur’an, Tauhid, dan Kejadian Alam.
Adanya Tuhan:
Apa sebabnya manusia harus percaya bahwa Tuhan itu ada?. Mu’tazilah menjawab bahwa akal kita lah yang menyimpulkan bahwa Tuhan itu ada. Tetapi Ahli Sunnah (lama) menjawab, kita wajib menganggap Tuhan itu ada sebab diajarkan oleh Nabi Muhammad dan tersebut dalam Al Qur’an. Kemudian Al Maturidi menjawab soal ini:
“Kita wajib percaya bahwa Tuhan itu ada adalah karena perintah Tuhan. Dan perintah ini dapat kita tangkap dengan akal. Jadi akal itu bukanlah sumber, tetapi hanyalah alat saja untuk mengetahui”.
Mengenai sifat-sifat Tuhan, Ahli Sunnah mengakui bahwa Tuhan mempunyai sifat-sifat kesempurnaan yang tak berbeda dari dhzat-Nya sendiri yaitu abadi. Al Asy’ari mengatakan: “Allah itu mengetahui oleh karena pengetahuan, yang tak berbeda daripada dhzat Tuhan”. Istilah “oleh karena” menunjukkan kalimat instrumentalis (sebagai alat). Mu’tazilah,seperti kita ketahui, menganggap pendapat-pendapat ini syirik. Al Maturidi mendukung pendapat Al Asy’ari soal ini dengan: “Tuhan mengetahui dengan mempunyai pengetahuan yang abadi juga. Jadi pengetahuan bukan lagi sebagai alat”. Mu’tazilah menjawab: “Kalau pengetahuan itu abadi maka itu juga berarti syirik, sebab ada yang abadi lain disampng Tuhan”.
Bagi Ahli Sunnah, keabadian sifat-sifat itu bukan berarti berdiri diluar dhzat Allah. Allah tetap Maha Esa dan Abadi dengan sendirinya. Ke-Esa-an itu sendiri dilihat dari bermacam-macam segi. Sifat-sifat itu hanya mengisi pengertian kesempurnaan. Faham Al Asy’ari dan Al Maturidi dala beberapa hal adalah synthesa antara Mu’tazilah dan Ahli Sunnah yang lama. Al Asy’ari sendiri mulanya selama 40 tahun merupakan salah seorang ulama Mu’tazilah sebelum beliau masuk golongan Ahli Sunnah. Akal yang dipentingkan oleh Mu’tazilah diambil Al Asy’ari. Pengikut Al Asy’ari (ASWAJA) berpendapat :”Manusia harus memakai nazhar bahwa untuk mengetahui Tuhan itu harus menggunakan akalnya. Tidak boleh taklid saja”. Pendapat golongan Al Asy’ari ang tidak disetujui Ahli Sunnah ialah tentang membersihkan pengertian Tuhan dari tajsim (anthropo-morphisme). Seperti Mu’tazilah, kita (pengikut Al Asy’ari) juga melakukan takwil tentang istilah-istilah tajsim itu. Misalnya kata aidin yang tersebut dalam Al Qur’an “wa banainaha biaidin” (Kami jadikan langit itu dengan tangan). Aidin tidak boleh disamakan dengan tangan manusia., tetapi kekuasaan Allah. Golongan pengikut Al Asy’ari (ASWAJA) ini digolongkan sebagai ulama Khalaf dan yang sebelumnya adalah ulama Salaf dalam klassifikasi Ahli Sunnah wal Jama’ah.
Tentang al Qur’an :
Ahli Sunnah sebelum Al Asy’ari berpendapat : “Apa yang terdapat diantara kulit itu adalah firman Allah”. Artinya, bahwa huruf-huruf yang ditulis dengan tinta itu juga adalah qadim dan abadi. Dan yang kita dengar adalah dari orang yang membacanya itu adalah firman Tuhan yang tidak diciptkan itu. Al Asy’ari berpendapat bahwa “Firman Tuhan itu adalah abadi, akan tetapi keabadian itu hanya mengenai percakapannya didalam hati atau aslinya firman itu sebelum bdiucapkan dan dituliskan. Tatkala telah diucapkan dan dituliskan maka yang kita dengar dan yang kita baca itu adalah pemberitahuan atau pernyataan dari firman yang asli itu”. Artinya, bahasa dan tulisan itu adalah hasil cipta, rasa, dan karsa manusia.
Pemberitahuan dan pernyataan itu adalah identik (sama) dengan firman Allah ayang sli, yang tersimpan dalam “lauh al mahfudz”. Al Qur’an itu tersimpan dalam hati manusia yang arif (ulama). Al Maturidi berpendapat bahwa “Apa yang tertulis dalam al Qur’an itu adalah firman Allah, begitu pula apa yang dibacakan dalam masjid dan apa yang dikeluarkan dengan tenggorokan manusia. Tetapi huruf-huruf yang tertulis itu, lagunya dan suaranya itu adalah ciptaan (makhluk) dan tidak qadim”.
Tentang Kejadian Alam :
Ahli Sunnah dapat menerima teori filsafat dari Al Asy’ari, yang sependapat dengan Demokritus dan plotinus dan sebagainya bahwa dunia ini terdiri dari atom-atom. Tetapi berlainan dengan filsafat Barat sekarang, Al Asy’ari berpendapat bahwa atom-atom itu sudah mempunyai sifat sendiri dan tidak dapat berkembang . Atom-atom itu tidak dapat berobah. Dapat dipisahkan satu sama lain oleh ruang antara,dan satu sama lain tidak dapat saling mempengaruhi.
Perobahan dalam dunia ini menurut teori atomistic Barat disebabkan karena atom-atom itu berkelompok, berkembang, dan berpisah. Itulah yang menyebabkan perobahan dan pergeseran didalam dunia ini. Segala gerakan atom adalah menuruti suatu hukum alam yang pasti yang tunduk pada hukum “sebab akibat” dari Aristoteles dan Neo-Platonisme.
Sebaliknya, menurut Al Asy’ari perobahan dunia (alam) ini terjadi karena atom-atom tadi senantiasa msuk dan keluar dari eksistensi (alam “Ada”) ini. Masuk berarti diciptakan dan keluar berarti ditiadakan/dimusnahkan Tuhan. Jadi, Tuhan senantiasa menciptakan atom baru. Ringkasnya beliau menolak hokum sebab akibat. Tuhan baginya bukanlah sebab, tetapi Pencipta, dan Pemelihara. Pengaruh filsafat Al Asy’ari ini diterima dengan hati-hati oleh Ahli Sunnah kemudian pada abad 12 Masehi disokong oleh Abu Hamid Muhammad bin Muhammad bin Muhammad Al Ghazali (1058-1111 M) sehingga faham ini bisa diterima bulat-bulat oleh Ahli Sunnah. Pelajaran Theologinya ini menjadi rumusan pelajaran Tauhid Ahli Sunnah hingga sekarang ini yang dapat mengatasi pengaruh mazhab Mu’tazilah.Yang terkenal misalnya, pelajaran Sifat Dua Puluh.
Sebagian orang menganggap bahwa Al Ghazali bukan seorang ahli filsafat tetapi seorang ahli tasawuf. Alasannya karena Al Ghazali dalam bukunya “Tahafutul Falasifah” telah menentang dengan terang-terangan hasil-hasil filsafat Yunani dab golongan Islam sendiri, dan dengan terang-terangan pula menganggap bahwa akal dan filsafat bukanlah alat yang paling utama baginya.
Sesungguhnya anggapan Al Ghazali itu tidak benar. Pun bagi kita sendiri yang telah belajar dari Al Ghazali. Kalau Al Ghazali tidak bersandar pada akal dan filsafat semata-mata, maka itu tidak perlu diartikan bahwa Al Ghazali telah menentang pemakaian akal dan amal filsafat itu sendiri. Malahan, seluruhprestasi Al Ghazali adalah hasil akal dan karya filsafatnya yang beliau sesuaikan dengan prinsip-prinsip agama Islam.
Memang benar jika mistik atau tasawuf umumnya lebih memakai perasaan daripada pemikiran, akan tetapi dala tasawuf Al Ghazali jelas sekali adanya faktor pemikiran yang senantiasa tampak daripada faktor perasaan. Hal ini sesuai dengan tuntunan aya-ayat Al Qur’an tentang pentingnya akal.
Sikap Al Ghazali yang seperti itu dapat kita maklumi sebagai dampak dari bias-bias politik dalam berbagai pemikiran filsafat Islam, termasuk tasawuf nya Al Ghazali, terutama dalam perseteruan antara ijra-ul-adat (Al Ghazali dan Al Asy’ari) dengan pengaruh hukum Causal di dunia Islam, terutama daerah Maghribi. Hal ini terus berlangsung dan jelas terlihat dalam sejarah perseteruan antara Bani Umayah yang dijatuhkan Bani Abbas (750 M). Bani Abbas berpusat di Baghdad, berjaya antara 750-850 M sebagai pusat ilmu pengetahuan dan peradaban Islam. Kondisi tersebut memicu kerajan Islam di Andalusia (Spanyol) untuk mengejar ketertinggalannya.
Wallahu a’lam bishshawab
Wallahul muwaffiq ila aqwamiththorieq
Wassalamu’alaikum Wr. Wb.



Heurmeneutika al-Qur`an untuk Pembebasan "HASSAN HANAFI"

HASSAN HANAFI:
Heurmeneutika al-Qur`an untuk Pembebasan[1]
Hassan Hanafi, tokoh kita ini, bukanlah intellectual par exellence di bidang Tafsir maupun studi-studi Al-Quran. Banyak nama lain yang mestinya lebih layak dikemukakan menyangkut disiplin tersebut ketimbang membahas pemikirannya; katakanlah, Fazlur Rahman, Arkoun, Farid Esack, atau muridnya yang begitu brilian, Abû Zayd. Nama-nama belakangan ini bukan saja dikenal dengan concern-nya pada pengujian kembali khazanah pemikiran Islam (turâts) pada sang titik alpha, Al-Quran. Tapi juga karena masing-masing mereka telah mempublikasikan karya-karya yang hingga kini menjadi kajian wajib pemerhati tafsir di Timur dan Barat. [2] Sementara itu, Hanafi lebih dikenal sebagai seorang filsuf ketimbang hermeneut, apalagi seorang mufassir. Namun demikian, jika merujuk pada karya akademisnya di La Sorbonne,[3] jelas bahwa semenjak awal, ia telah berminat besar pada perumusan metodologi penafsiran (cf. Ichwan 1999:33). [4]
Pertanyaannya kemudian, what makes this guy special? Inilah yang ingin dijawab oleh keseluruhan isi “Hermeneutika Pembebasan” yang terbit akhir tahun lalu. Bukanlah hal yang mudah untuk menjawabnya, oleh karena diperlukan sejumlah kriteria yang bisa menunjukkan, secara asimptomatis, “hakikat” gagasannya tentang metodologi tafsir Al-Quran. Tulisan ini, demi menjawab pertanyaan sederhana di atas, akan membahas, pertama, latar belakang dan posisi intelektual Hanafi dalam peta hermeneutika Al-Quran kontemporer; kedua, inti gagasan hermeneutika pembebasan; dan ketiga, beberapa catatan.
Konteks Intelektual
Banyak faktor yang bisa dikemukakan mengenai latar belakang Hanafi yang kemudian mempengaruhi gagasan hermeneutika Al-Quran dan pemikirannya, secara umum. Namun demikian, kita bisa meringkasnya ke dalam dua karakteristik dasar: yang disadari dan, biasanya, diucapkan; dan yang tidak disadari dan tidak terkatakan.
Hanafi, bagaimanapun, adalah seorang pengamat, bahkan terhadap dirinya sendiri. Membaca Ad-Dîn wa ats-Tsawrah fî Mishr 1956-1981, 8 jilid, (terbit 1989), atau Hiwâr al-Masyriq wa al-Maghrib (1990) yang ditulis dan diedit bersama koleganya, al-Jâbirî, dalam rangka debat dengan sejumlah pemikir Muslim lain yang mengatasnamakan diri kaum Masyriq; dan Hiwâr al-Ajyâl (1998), yang merupakan kumpulan komentar atau tanggapan Hanafi terhadap sejumlah intelektual terkemuka di zamannya, kita akan menyaksikan bagaimana komentar-komentar Hanafî tersebut merefleksikan dirinya dan pergumulan intelektual Arabo-Islam kontemporer. Kita tidak mungkin mencabut Hanafi dari situasi sosio-politik dunia Arab, dan Mesir, khususnya, ketimbang dari konteks-konteks lain, seperti diskursus pemikiran Islam modern atau studi Al-Quran kontemporer. Mukhâtab-nya tetaplah dunia Arab dengan segala pertarungan ideologisnya.
Gerakan pemikiran yang diusung Hanafi dimaksudkan sebagai usaha melepaskan diri dari segala macam kooptasi agama oleh kekuasaan, sembari melakukan kritik terhadap pelbagai corak ideologi-ideologi pembangunan yang berkembang di Mesir, seperti liberalisme Barat, sosialisme negara, Marxisme klasik, hingga ritualisme kesukuan/agama. Kritik Hanafi sangat mendasar, karena diarahkan pada substansi dan praktek pembangunan itu sekaligus. Secara teoretis, bentuk-bentuk ideologi tersebut sangat bias Barat, sama sekali “asing” bagi rakyat, atau mengabaikan tradisi, sehingga hilang dari kesadaran massa. Kalaupun ada ideologi pembangunan yang berbasis agama, alih-alih berfungsi sebagai kritik, justru menjadi alat kekuasaan yang juga mengabdi pada kepentingan sekular. Sementara, secara praktis, pembangunan di Mesir bukannya mendatangkan kemajuan yang sejati, tapi justru menyengsarakan rakyat, melebarkan kesenjangan, dan menyuburkan korupsi (Hanafi 1994:91-92).
Tawaran Hanafi, dalam konteks ini, berbeda dengan ideologi yang mempromosikan pembangunan (developmentalism) yang lebih berkonotasi growth, tapi kritik pembangunan dalam pengertian populisme “transformasi”. Hanafi berbicara mengenai keharusan bagi Islam untuk mengembangkan wawasan kehidupan yang progresif, yang berdimensi pembebasan (taharrur, liberation). Sementara keinginan tersebut hanya dapat ditegakkan melalui gagasan keadilan sosial dan gerakan ideologis yang terorganisasi yang mengakar dalam tradisi pemikiran Islam dan kesadaran rakyat. Pada titik inilah “Kiri Islam”—sebagaimana diakui dalam manifestonya—merefleksikan tahapan tertentu dalam perkembangan intelektual Hanafi sebagai transformasi dari “dominannya kesadaran individual (al-wa`yu al-fardî) pada dekade 1960-1970, kepada dominannya kesadaran sosial (al-wa`yu al-ijtima`î) sejak dekade 1980-an (Hanafi 1991c:84). Sebagaimana digambarkan dalam salah satu bagian manifesto tersebut, Hassan Hanafi bermaksud menciptakan sebuah disiplin interpretasi dengan sensitivitas yang luarbiasa pada realitas dan kemanusiaan. Ia menginginkan agar Kiri Islam sanggup menghasilkan tafsir perseptif, yakni tafsir atas dasar kesadaran humanistik yang dapat berbicara tentang kemanusiaan, hubungan manusia dengan manusia lain, tugas-tugasnya di dunia, kedudukannya dalam sejarah untuk membangun sistem sosial dan politik (Hanafi 1994:104).
Kiri Islam, hermeneutika pembebasan, dan tafsir revolusioner, kemudian masuk ke dalam suatu skema besar dari proyek paling ambisius, at-Turâts wa at-Tajdîd.[5] Dalam proyek tersebut, metodologi tafsir (al-Manâhij) mengandaikan suatu eksposisi sistematis mengenai penafsiran realitas sosial yang dapat dibaca melalui Al-Quran, atau semacam pandangan dunia Al-Quran mengenai kehidupan (lihat Hanafi 1991b:10-13).
Inilah yang dikatakan Hanafi mengenai dirinya. Implisit di dalamnya obsesi-obsesi besar mengenai pembaharuan menyeluruh dan transformasi radikal. Jika yang pertama mengandaikan kapasitas intelektual yang memadai atas tradisi dan modernitas, Islam dan Barat (al-istibhâr fi at-turâts wa at-taqaddum al-gharbiyyah), yang kedua mengandaikan adanya concern kemanusiaan dan analisa sosial yang tajam, secara simultan pula.
Lantas, apa yang tidak dikatakan Hanafi mengenai dirinya, tapi kental dalam segenap usaha intelektualnya? Kita berhutang pada kritik wacana dari sejumlah kritikus Arab kontemporer guna memahami, antara lain, penyataan-pernyataan Hanafi dalam banyak kesempatan, “Saya telah memulai proyek ini, mengingat usia saya yang telah lanjut” (lihat misalnya, Hanafi 1989b:256). `Alî Harb, salah seorang kritikus pemikiran Arab kontemporer (1995:27-69), menuding Hanafi, tidak lebih dari orang yang mengidap apa yang disebut “narsisisme intelektual” (narjisiyyah al-mutsaqqaf) yang menjadi ciri epistem Arab kontemporer. Sebagai anak zamannya, gejala semacam itu bukan khas milik Hanafi seorang. Ini semacam efek dari euforia pembaharuan di kalangan intelektual Arab. Mereka, termasuk Hanafi, selalu merasa paling bertanggung jawab terhadap proses pembaharuan di dunia Islam. Padahal, menurut Harb, mereka hanya bekerja demi reputasi dan ego masing-masing.
Sementara itu, Abû Zayd (1992:182), mempersoalkan prosedur ilmiah pemikiran hermeneutis Hanafi, terutama ketika menafsirkan tradisi pemikiran Islam. Hanafi dianggap memberi porsi yang berlebihan bagi penafsir dan mengabaikan teks-teks keagamaan sebagai entitas yang memiliki otonomi, sistem hubungan-hubungan intern, dan konteks wacananya sendiri. Pola berpikir semacam ini memang begitu dominan dalam interaksi Hanafi dengan khazanah keilmuan Islam yang kaya. Seperti ditunjukkan lebih lanjut oleh Abû Zayd, Hanafi sering kali menerapkan eklektisisme terhadap teks-teks tradisional sepanjang mendukung proyek pemikirannya. Padahal, setiap konsep dalam tradisi tersebut senantiasa dalam hubungan yang tidak terpisahkan dengan konteksnya sendiri-sendiri yang bisa jadi kontradiktif dengan penafsiran yang dilakukan Hanafi.
Latar belakang di atas merupakan clues (isyârât) mengenai orientasi paradigmatis dari hermeneutika pembebasan. Jauh dari ruang vakum, pemikiran Hanafi adalah produk nalar dalam ruang sosial-budaya yang di dalamnya berbagai kuasa beroperasi dan saling bertarung berebut posisi dan reputasi. Pertanyaannya, apakah itu mengurangi keistimewaan pemikiran hermeneutis Hanafi?
Posisi Metodologis
Hanafi, sebagaimana diperikan di atas, pada dasarnya, tidak berhadapan secara langsung dengan diskursus hermeneutika Al-Quran kontemporer. Namun demikian, ada satu common denominator di setiap negara Muslim mutakhir bahwa masing-masing menghadapi modernitas dan pembangunan. [6] Tantangan demikian juga berlaku bagi pemikir-pemikir Muslim, terutama yang bermaksud mencari pendasarannya dalam Al-Quran. Masalahnya, mengutip bahasa Arkoun dan Rahman, kita sedang berhadapan dengan teks yang berasal dari 14 abad lalu di mana berbagai metode ilmiah dan gagasan baru dalam wacana penafsiran Al-Quran bukan tanpa masalah, terutama jika dikaitkan dengan beberapa keberatan menyangkut “dipaksakannya berbagai unsur asing ke dalam Al-Quran” (Fazlur Rahman 1995:2-3). Upaya yang terakhir ini, disinyalir sering kali bukan demi memahami makna Al-Quran, tapi justru untuk mengejar tujuan-tujuan ekstra Qurani, bahkan yang paling `baik” sekalipun, demi menghilangkan kesenjangan intelektual antara komunitas Muslim dan penemuan-penemuan Barat (W. Rahman 1991:93).
Dalam melaksanakan tugas-tugas tersebut, para pemikir Muslim modern terbelah ke dalam dua kategori metodologis berikut. Pertama, mereka yang berangkat dengan titik tekan lebih besar pada upaya menjelaskan makna-makna teks secara kurang lebih objektif dan baru setelah itu, beralih kepada realitas kekinian untuk kontekstualisasinya. Sementara itu, kategori kedua berusaha berangkat dari realitas kontemporer umat Islam menuju pemahaman yang sesuai dengan ajaran-ajaran yang mungkin diperoleh dari penafsiran Al-Quran. Kategori yang pertama terutama diwakili oleh Fazlur Rahman, Mohammed Arkoun, dan Abû Zayd. Sedang dalam kategori terakhir dapat dimasukkan para pemikir progresif, seperti Farid Esack, Asghar Ali Engineer, dan Amina Wadud-Muhsin.
Meminjam kerangka analitis Josef Bleicher (1980:1-3), dua tipologi di atas dapat kita anggap masing–masing merepresentasikan pandangan hermeneutika Al-Quran yang bersifat teoretik (metodis) dan yang bercorak filosofis. Hermeneutika Al-Quran yang bersifat metodis lebih banyak memprioritaskan diri pada masalah-masalah teoretik di seputar penafsiran Al-Ô___Õ___Ö___×___Ø___Ù___Ú___Û___Ü___Ý___Þ___ß___à___á___â___ã___ä___å___æ___ç___è___é___ê___ë___ì___í___î___ú____________ñ____________ñ____________å____________å____________å____________å____________å____________å____________å____________å____________å____________å____________å____________å____________å____________å____________å____________å____________å____________å____________å____________å____________å____________å____________å____________________________$__$_If____a$_gd!NÄ_ ___$_If____gd!NÄ_____FfZ¯____î___ï___ð___ñ___ò___ó___ô___õ___ö___÷___ø___ù___ú___û___ü___ý___þ___ÿ______________________________ó____________ó____________ó____________ó____________ó____________ó____________ó____________ó____________ó____________ó____________ó____________ó____________ó____________ó____________ó____________ó____________ó____________ó____________ó____________ó____________ó____________ó____________ó____________ó____________ó____________ê__________________________________ ___$_If____gd!NÄ_____$__$_If____a$_gd!NÄ______ __________________________________________________________________ __!__"__ú____________ñ____________ñ____________å____________å____________å____________å____________å____________å____________å____________å____________å____________å____________å____________å____________å____________å____________å____________å____________å____________å____________å____________å____________å____________å____________å____________________________$__$_If____a$_gd!NÄ_ ___$_If____gd!NÄ_____Ff_»____"__#__$__%__&__'__(__)__*__+__,__-__.__/__0__1__2__3__4__5__6__7__8__9__:__;__<__ó____________ó____________ó____________ó____________ó____________ó____________ó____________ó____________ó____________ó____________ó____________ó____________ó____________ó____________ó____________ó____________ó____________ó____________ó____________ó____________ó____________ó____________ó____________ó____________ó____________ê__________________________________ ___$_If____gd!NÄ_____$__$_If____a$_gd!NÄ___<__=__>__?__@__A__B__C__D__E__F__G__H__I__J__K__L__M__N__O__P__Q__R__S__T__U__ú____________ñ____________è____________Ü____________Ü____________Ü____________Ü____________Ü____________Ü____________Ü____________Ü____________Ü____________Ü____________Ü____________Ü____________Ü____________Ü____________Ü____________Ü____________Ü____________Ü____________Ü____________Ü____________Ü____________Ü___________________________$__$_If____a$_gd!NÄ_ ___$_If____gd!NÄ_ ___$_If____gd!NÄ_____FfØÆ____U__V__W__X__Y__Z__[__
__]__^_____`__a__b__c__d__e__f__g__h__i__j__k__l__m__n__o__p__ó____________ó____________ó____________ó____________ó____________ó____________ó____________ó____________ó____________ó____________ó____________ó____________ó____________ó____________ó____________ó____________ó____________ó____________ó____________ó____________ó____________ó____________ó____________ó____________ó____________ó____________ê_________________ ___$_If____gd!NÄ_____$__$_If____a$_gd!NÄ___p__q__r__s__t__u__v__w__x__y__z____|____~____€____‚__ƒ__„__…__†__‡__ˆ__‰__Š__ú____________ñ____________ñ____________å____________å____________å____________å____________å____________å____________å____________å____________å____________å____________å____________å____________å____________å____________å____________å____________å____________å____________å____________å____________å____________å____________å____________________________$__$_If____a$_gd!NÄ_ ___$_If____gd!NÄ_____Ff—Ò____Š__‹__Œ____Ž______‘__’__“__”__•__–__—__˜__™__š__›__œ____ž__Ÿ__ __¡__¢__£__¤__ó____________ó____________ó____________ó____________ó____________ó____________ó____________ó____________ó____________ó____________ó____________ó____________ó____________ó____________ó____________ó____________ó____________ó____________ó____________ó____________ó____________ó____________ó____________ó____________ó____________ê__________________________________ ___$_If____gd!NÄ_____$__$_If____a$_gd!NÄ___¤__¥__¦__§__¨__©__ª__«__¬__­__®__¯__°__±__²__³__´__µ__¶__•__¸__¹__º__»__¼__½__¾__ú____________ñ____________ñ____________å____________å____________å____________å____________å____________å____________å____________å____________å____________å____________å____________å____________å____________å____________å____________å____________å____________å____________å____________å____________å____________å____________å____________________________$__$_If____a$_gd!NÄ_ ___$_If____gd!NÄ_____FfVÞ____¾__¿__À__Á__Â__Ã__Ä__Å__Æ__Ç__È__É__Ê__Ë__Ì__Í__Î__Ï__Ð__Ñ__Ò__Ó__Ô__Õ__Ö__×__Ø__ó____________ó____________ó____________ó____________ó____________ó____________ó____________ó____________ó____________ó____________ó____________ó____________ó____________ó____________ó____________ó____________ó____________ó____________ó____________ó____________ó____________ó____________ó____________ó____________ó____________ê__________________________________ ___$_If____gd!NÄ_____$__$_If____a$_gd!NÄ___Ø__Ù__Ú__Û__Ü__Ý__Þ__ß__à__á__â__ã__ä__å__æ__ç__è__é__ê__ë__ì__í__î__ï__ð__ñ__ò__ú____________ñ____________ñ____________å____________å____________å____________å____________å____________å____________å____________å____________å____________å____________å____________å____________å____________å____________å____________å____________å____________å____________å____________å____________å____________å____________å____________________________$__$_If____a$_gd!NÄ_ ___$_If____gd!NÄ_____Ff_ê____ò__ó__ô__õ__ö__÷__ø__ù__ú__û__ü__ý__þ__ÿ______________________________________ ______________ó____________ó____________ó____________ó____________ó____________ó____________ó____________ó____________ó____________ó____________ó____________ó____________ó____________ó____________ó____________ó____________ó____________ó____________ó____________ó____________ó____________ó____________ó____________ó____________ó____________ê__________________________________ ___$_If____gd!NÄ_____$__$_If____a$_gd!NÄ__________________________________________________________________________________ ___!___"___#___$___%___&___ú____________ñ____________ñ____________å____________å____________å____________å____________å____________å____________å____________å____________å____________å____________å____________å____________å____________å____________å____________å____________å____________å____________å____________å____________å____________å____________å____________________________$__$_If____a$_gd!NÄ_ ___$_If____gd!NÄ_____FfÔõ____&___'___(___)___*___+___,___-___.___/___0___1___2___3___4___5___6___7___8___9___:___;___<___=___>___?___@___ó____________ó____________ó____________ó____________ó____________ó____________ó____________ó____________ó____________ó____________ó____________ó____________ó____________ó____________ó____________ó____________ó____________ó____________ó____________ó____________ó____________ó____________ó____________ó____________ó____________ê__________________________________ ___$_If____gd!NÄ_____$__$_If____a$_gd!NÄ___@___A___B___C___D___E___F___G___H___I___J___K___L___M___N___O___P___Q___R___S___T___U___V___W___X___Y___ú____________ñ____________è____________Ü____________Ü____________Ü____________Ü____________Ü____________Ü____________Ü____________Ü____________Ü____________Ü____________Ü____________Ü____________Ü____________Ü____________Ü____________Ü____________Ü____________Ü____________Ü____________Ü____________Ü____________Ü___________________________$__$_If____a$_gd!NÄ_ ___$_If____gd!NÄ_ ___$_If____gd!NÄ_____Ff“_____Y___Z___[_____]___^_______`___a___b___c___d___e___f___g___h___i___j___k___l___m___n___o___p___q___r___s___t___ó____________ó____________ó____________ó____________ó____________ó____________ó____________ó____________ó____________ó____________ó____________ó____________ó____________ó____________ó____________ó____________ó____________ó____________ó____________ó____________ó____________ó____________ó____________ó____________ó____________ó____________ê_________________ ___$_If____gd!NÄ_____$__$_If____a$_gd!NÄ___t___u___v___w___x___y___z______|______~______€______‚___ƒ___„___…___†___‡___ˆ___‰___Š___‹___Œ______Ž___ú____________ñ____________ñ____________å____________å____________å____________å____________å____________å____________å____________å____________å____________å____________å____________å____________å____________å____________å____________å____________å____________å____________å____________å____________å____________å____________å____________________________$__$_If____a$_gd!NÄ_ ___$_If____gd!NÄ_____FfR____Ž_________‘___’___“___”___•___–___—___˜___™___š___›___œ______ž___Ÿ___ ___¡___¢___£___¤___¥___¦___§___¨___ó____________ó____________ó____________ó____________ó____________ó____________ó____________ó____________ó____________ó____________ó____________ó____________ó____________ó____________ó____________ó____________ó____________ó____________ó____________ó____________ó____________ó____________ó____________ó____________ó____________ê__________________________________ ___$_If____gd!NÄ_____$__$_If____a$_gd!NÄ___¨___©___ª___«___¬___­___®___¯___°___±___²___³___´___µ___¶___•___¸___¹___º___»___¼___½___¾___¿___À___Á___Â___ú____________ñ____________ñ____________å____________å____________å____________å____________å____________å____________å____________å____________å____________å____________å____________å____________å____________å____________å____________å____________å____________å____________å____________å____________å____________å____________å____________________________$__$_If____a$_gd!NÄ_ ___$_If____gd!NÄ_____Ff______Â___Ã___Ä___Å___Æ___Ç___È___É___Ê___Ë___Ì___Í___Î___Ï___Ð___Ñ___Ò___Ó___Ô___Õ___Ö___×___Ø___Ù___Ú___Û___Ü___ó____________ó____________ó____________ó____________ó____________ó____________ó____________ó____________ó____________ó____________ó____________ó____________ó____________ó____________ó____________ó____________ó____________ó____________ó____________ó____________ó____________ó____________ó____________ó____________ó____________ê__________________________________ ___$_If____gd!NÄ_____$__$_If____a$_gd!NÄ___Ü___Ý___Þ___ß___à___á___â___ã___ä___å___æ___ç___è___é___ê___ë___ì___í___î___ï___ð___ñ___ò___ó___ô___õ___ö___ú____________ñ____________ñ____________å____________å____________å____________å____________å____________å____________å____________å____________å____________å____________å____________å____________å____________å____________å____________å____________å____________å____________å____________å____________å____________å____________å____________________________$__$_If____a$_gd!NÄ_ ___$_If____gd!NÄ_____Ff´$____ö___÷___ø___ù___ú___û___ü___ý___þ___ÿ_______________________________________ _____________________________ó____________ó____________ó____________ó____________ó____________ó____________ó____________ó____________ó____________ó____________ó____________ó____________ó____________ó____________ó____________ó____________ó____________ó____________ó____________ó____________ó____________ó____________ó____________ó____________ó____________ê__________________________________ ___$_If____gd!NÄ_____$__$_If____a$_gd!NÄ___________________________________________________________________ ___!___"___#___$___%___&___'___(___)___*___ú____________ñ____________ñ____________å____________å____________å____________å____________å____________å____________å____________å____________å____________å____________å____________å____________å____________å____________å____________å____________å____________å____________å____________å____________å____________å____________å____________________________$__$_If____a$_gd!NÄ_ ___$_If____gd!NÄ_____Ffs0____*___+___,___-___.___/___0___1___2___3___4___5___6___7___8___9___:___;___<___=___>___?___@___A___B___C___D___ó____________ó____________ó____________ó____________ó____________ó____________ó____________ó____________ó____________ó____________ó____________ó____________ó____________ó____________ó____________ó____________ó____________ó____________ó____________ó____________ó____________ó____________ó____________ó____________ó____________ê__________________________________ ___$_If____gd!NÄ_____$__$_If____a$_gd!NÄ___D___E___F___G___H___I___J___K___L___M___N___O___P___Q___R___S___T___U___V___W___X___Y___Z___[_____]___^___ú____________ñ____________ñ____________å____________å____________å____________å____________å____________å____________å____________å____________å____________å____________å____________å____________å____________å____________å____________å____________å____________å____________å____________å____________å____________å____________å____________________________$__$_If____a$_gd!NÄ_ ___$_If____gd!NÄ_____Ff2<____^_______`___a___b___c___d___e___f___g___h___i___j___k___l___m___n___o___p___q___r___s___t___u___v___w___x___ó____________ó____________ó____________ó____________ó____________ó____________ó____________ó____________ó____________ó____________ó____________ó____________ó____________ó____________ó____________ó____________ó____________ó____________ó____________ó____________ó____________ó____________ó____________ó____________ó____________ê__________________________________ ___$_If____gd!NÄ_____$__$_If____a$_gd!NÄ___x___y___z______|______~______€______‚___ƒ___„___…___†___‡___ˆ___‰___Š___‹___Œ______Ž_________‘___ú____________ñ____________è____________Ü____________Ü____________Ü____________Ü____________Ü____________Ü____________Ü____________Ü____________Ü____________Ü____________Ü____________Ü____________Ü____________Ü____________Ü____________Ü____________Ü____________Ü____________Ü____________Ü____________Ü____________Ü___________________________$__$_If____a$_gd!NÄ_ ___$_If____gd!NÄ_ ___$_If____gd!NÄ_____FfñG____‘___’___“___”___•___–___—___˜___™___š___›___œ______ž___Ÿ___ ___¡___¢___£___¤___¥___¦___§___¨___©___ª___«___¬___ó____________ó____________ó____________ó____________ó____________ó____________ó____________ó____________ó____________ó____________ó____________ó____________ó____________ó____________ó____________ó____________ó____________ó____________ó____________ó____________ó____________ó____________ó____________ó____________ó____________ó____________ê_________________ ___$_If____gd!NÄ_____$__$_If____a$_gd!NÄ___¬___­___®___¯___°___±___²___³___´___µ___¶___•___¸___¹___º___»___¼___½___¾___¿___À___Á___Â___Ã___Ä___Å___Æ___ú____________ñ____________ñ____________å____________å____________å____________å____________å____________å____________å____________å____________å____________å____________å____________å____________å____________å____________å____________å____________å____________å____________å____________å____________å____________å____________å____________________________$__$_If____a$_gd!NÄ_ ___$_If____gd!NÄ_____Ff¢S____Æ___Ç___È___É___Ê___Ë___Ì___Í___Î___Ï___Ð___Ñ___Ò___Ó___Ô___Õ___Ö___×___Ø___Ù___Ú___Û___Ü___Ý___Þ___ß___à___ó____________ó____________ó____________ó____________ó____________ó____________ó____________ó____________ó____________ó____________ó____________ó____________ó____________ó____________ó____________ó____________ó____________ó____________ó____________ó____________ó____________ó____________ó____________ó____________ó____________ê__________________________________ ___$_If____gd!NÄ_____$__$_If____a$_gd!NÄ___à___á___â___ã___ä___å___æ___ç___è___é___ê___ë___ì___í___î___ï___ð___ñ___ò___ó___ô___õ___ö___÷___ø___ù___ú___ú____________ñ____________ñ____________å____________å____________å____________å____________å____________å____________å____________å____________å____________å____________å____________å____________å____________å____________å____________å____________å____________å____________å____________å____________å____________å____________å____________________________$__$_If____a$_gd!NÄ_ ___$_If____gd!NÄ_____FfS_____ú___û___ü___ý___þ___ÿ_______________________________________ _____________________________________________ó____________ó____________ó____________ó____________ó____________ó____________ó____________ó____________ó____________ó____________ó____________ó____________ó____________ó____________ó____________ó____________ó____________ó____________ó____________ó____________ó____________ó____________ó____________ó____________ó____________ê__________________________________ ___$_If____gd!NÄ_____$__$_If____a$_gd!NÄ___kan kecuali sebagai sarana membangun keyakinan akan sifat otoritatif dari teks. Interpretasi baru dimulai pada tahap eidetik di mana Hanafi merumuskan banyak teori penafsiran yang terangkum dalam apa yang lazim sebut sebagai “metode tafsir tematik”. Sejauh menyangkut kegiatan interpretasi teks, Hanafi menawarkan di dalamnya metode analisa pengalaman (manhaj tahlîl al-khubrât) dan metode interpretasi teks yang berhubungan secara kronologis dan dialektis sekaligus. Pertama-tama, penafsir menganalisa pengalamannya, yakni apa yang dipresentasikan oleh realitas sebagaimana yang dipahami oleh kesadaran penafsir. Fungsinya adalah untuk memastikan kebutuhan, problematika, kepentingan dan orientasi penafsir terhadap teks. Setelah itu penafsir baru beranjak pada interpretasi teks sebagaimana yang dituntut oleh kepentingan dan kebutuhannya. Proses ganda inilah yang dapat kita sebut sebagai kritik eidetik (Hanafi 1983a:179-180).
Proses selanjutnya adalah interpretasi teks. Tahap ini, sejauh menelusuri pemikiran Hanafi, dilakukan melalui dua aspek tekstualitasnya, yakni bahasa dan konteks sejarahnya. Yang pertama dilakukan berdasarkan prinsip-prinsip kebahasaan, sedang yang kedua melalui penelitian dan pemahaman yang memadai atas asbâb an-nuzûl (Hanafi 1991a:21). Setelah makna-makna linguistik dan keadaan sejarah ditentukan, selanjutnya penafsiran dilakukan melalui generalisasi makna dari situasi saat dan situasi sejarah agar dapat menimbulkan situasi-situasi lain. Pada tahap terakhir ini Hassan Hanafi menginginkan diperolehnya makna baru dari kegiatan interpretasi untuk menyikapi kasus-kasus tertentu dalam masyarakat kontemporer (Hanafi 1991a:21).
Generalisasi yang merupakan langkah kedua dari kegiatan interpretasi pada akhirnya membuka peluang bagi munculnya kritik praksis. Sebagaimana disebutkan tadi, makna baru dapat diperoleh dari interpretasi dan berfungsi untuk memformulasi sikap seorang penafsir terhadap problem atau realitas tertentu. Secara teoretik, praksis dilakukan dengan membandingkan antara struktur ideal yang terefleksi dalam formulasi makna baru dari kegiatan interpretasi dan struktur sosial yang diperoleh dari analisa situasi faktual. Sekali kesenjangan ditemukan, hermeneutika pembebasan Al-Quran lantas bertugas model-model aksi yang dapat menfasilitasi transformasi Logos menuju teori, dan teori ke praksis (Hanafi 1995:420-21).
Ruang terbatas ini tidak memungkinkan kita menyajikan metode sistematis—dalam pengertian teknik-teknik penafsiran--dari hermeneutika Al-Quran Hanafi. Kita dapat melihatnya, paling tidak, dalam Methode of Thematic Interpretation (Hanafi 1995a) dan Manâhij at-Tafsîr wa Mashâliĥ al-`Ummah (Hanafi 1989c), dan lebih baik kita memberi beberapa catatan ringkas berikut.
Problem Metodologis
Ada beberapa hal yang mesti dikemukakan untuk gagasan hermeneutika Hanafi. Pertama, berbeda dari pengakuan Hanafi bahwa ushûl al-fiqh sebagai landasan menyusun hermeneutika Al-Qurannya, maupun hermeneutika eksistensial Bultmann, seperti analisa Boom (1989), hermeneutika pembebasan Al-Quran justru sangat dipengaruhi fenomenologi, Marxisme dan hermeneutika filosofis. Demikian kuatnya ketiga pendekatan tersebut sehingga dapat dikatakan di sini bahwa kerangka metodologis hermeneutika pembebasan Al-Quran sepenuhnya dibangun atas landasan ketiga pendekatan tersebut, sementara kerangka metodologis dari tradisi pemikiran Islam hanya merupakan selaput tipis di atasnya.
Pertama-tama, fenomenologi digunakan Hanafi untuk menunjukkan bahwa kesadaran dan pengalaman merupakan sumber yang otentik dan absah bagi pemahaman teks, sekaligus berguna dalam mentransendensikan atau, dalam istilah teknisnya, melakukan àpoché, menunda segala persoalan metafisika—yang dipahami sebagai persoalan-persoalan teologis-metafisis serta segala pandangan klasik tentang—Al-Quran (Hanafi 1991a:16). Selanjutnya, hermeneutika filosofis memberi pengaruh besar pada konsepsi mengenai historisitas pemahaman, historisitas teks, relativitas dan produksi makna (Hanafi 1988:538). Sementara Marxisme digunakan Hanafi, secara teoretik, sebagai metode sintesa dan dialektika berbagai pendekatan dalam pemikirannya, dan secara praktis, untuk menyingkap struktur sosial yang ada dalam masyarakat dan “struktur sosial” dalam teks. Yang terakhir ini tepatnya dimaksudkan untuk menyingkap pertarungan kekuasaan yang terrefleksi dalam teks-teks Al-Quran dan teks-teks penafsirannya (Hanafi 1991a:184-87).
Ushûl al-fiqh memang sempat disinggung bahkan sempat diulas dalam beberapa tulisan Hanafi tentang problematika penafsiran. Namun demikian, menurut hemat penulis, hal ini tidak menunjukkan struktur dasar dari gagasan hermeneutika pembebasan Al-Qurannya. Sebaliknya, gagasan Hanafi tentang hermeneutika bersifat final dalam fenomenologi, hermeneutika Gadamerian, dan Marxisme. Masalah-masalah seperti nâsikh-mansûkh, asbâb an-nuzûl, maupun mashlahah al-ummah sebenarnya bukan landasan metodologis dalam pengertian yang sesungguhnya. Ia hanya kumpulan problematika yang diperbincangkan secara spesifik dalam tradisi ushûl al-fiqh dan tradisi `ulûm al-Qur`ân. Oleh karena itu, dapat disebutkan di sini jika berbagai problematika dalam ushûl al-fiqh tersebut hanya dijadikan justifikasi bagi tradisi hermeneutika pembebasan Al-Quran. Hal ini terbukti terutama ketika dalam pemeriannya tentang prosedur penafsiran, asbâb an-nuzûl tidak mempunyai signifikansi apa pun dalam usaha memperoleh makna baru. Konteks sejarah, sebagaimana halnya nâsikh-mansûkh dan mashlahah al-ummah hanya bersifat inspiratif, yakni bahwa teks-teks Al-Quran selalu turun dengan kepentingan tertentu bagi kehidupan manusia (Hanafi 1988:537,539).
Dalam pemikiran apa pun, sebagaimana diakui Hanafi dalam pandangannya mengenai kontinuitas pengetahuan sebagai pendasaran pemahaman yang produktif, memang tidak ada orsinalitas (Hanafi 1988:548-9). Namun masalahnya, Hanafi melakukan ekletisisme yang tidak seimbang. Ketika mensintesakan tradisi klasik dengan tradisi intelektual Barat, Hanafi sekedar meletakkan tradisi sebagai label dan pembenaran saja. Sementara substansi metodologisnya sepenuhnya merupakan elaborasi fenomenologi, Marxisme, dan hermeneutika sebagai bentuk pemaksaan ide-ide tertentu ke dalam tradisi pemikiran Islam. Lagi pula, Hanafi tidak menarik secara tegas dan eksplisit batas-batas dari berbagai metodologi tersebut: di mana digunakan analisis fenomenologis, kapan Marxisme, dan pada wilayah mana hermeneutika filosofis berperan.
Kedua, batas penafsiran produktif dan ideologisasi. Pengakuan akan historisitas pemahaman manusia dalam pengertian keterlibatan kepentingan dan ideologi dalam pemikiran adalah poin yang sangat krusial dalam pemikiran Hanafi. Bahwa sebuah pemikiran atau pemahaman pada sebuah teks senantiasa melibatkan prapaham dan prasangka (Gadamer) atau kepentingan (Marxisme, Habermas) adalah konsep yang kuat dalam banyak filsafat pengetahuan kontemporer, seperti dianut oleh hermeneutika filosofis dan teori kritis. Akan tetapi, berbeda dengan tradisi pemikiran tersebut, Hassan Hanafi menggunakan argumen historisitas pemahaman sebagai pembenaran terhadap ideologisasi teks. Abû Zayd dalam hal ini menganggap pemikiran Hanafi telah jatuh dalam at-talwîn, yakni kegiatan menafsirkan teks secara ideologis dengan keluar dari batas-batas yang diizinkan bahasa. Di samping itu, at-talwîn mengaburkan perbedaan antara makna teks sebagaimana dimaksud pertama kali dengan arti (baru) yang dikonstruksi dalam situasi sosial yang baru (Abû Zayd 1992:113-115,182).
Gagasan mengenai pertautan pemikiran dan kepentingan dalam pemikiran Hanafi telah digunakan sebagai alasan ditafsirkannya teks sesuai konstruk kesadarannya yang bersifat sosial. Padahal, sebagaimana dicurigai `Alî Harb (1995:27 dst.), jangan jangan bukan kepentingan sosial yang diperjuangkan, namun reputasinya sendiri. Bagi Harb, sikap seperti ini merefleksiklan kekalutan epistem para modernis Arab saat ini. Dengan kata lain, Hassan Hanafi boleh kritis terhadap hermeneutika klasik yang dianggap menyembunyikan kepentingan atas dalih objektivitas, tapi tidak kritis terhadap asumsi-asumsinya sendiri.
Relevansi Pemikiran
Terlepas dari berbagai problem metodologis di atas, hermeneutika pembebasan Hassan Hanafi jika dihadapkan pada diskursus hermeneutika Al-Quran dapat merupakan kritik yang krusial. Corak metodologisnya yang unik dan berkarakter kuat, tentu merupakan fenomena tersendiri dalam diskursus hermeneutika Al-Quran kontemporer. Berikut ini akan kita bicarakan beberapa relevansi dari sumbangan metodologis hermeneutika Al-Quran Hanafi.
Pertama, desenterialisasi teks dalam hermeneutika klasik Al-Quran. Menurut Hassan Hanafi, hermeneutika dapat disebut ilmu yang menentukan hubungan antara subjek dengan objeknya. Subjek adalah penafsir dengan kegiatan penafsirannya, sementara objek adalah teks (Hanafi 1988:526). Meskipun terdapat pemilahan antara teks profan dengan teks sakral, Hanafi menganggap bahwa hermeneutika tidak membuat preferensi apa pun terhadap salah satu di antara keduanya. Semua teks diperlakukan sama sebagai konsekuensi leburnya pemilahan antara hermeneutika sacra dan hermeneutika profana dalam diskursus hermeneutika kontemporer (Hanafi 1988:527; 1991a:3). Hanafi menganggap keistimewaan Al-Quran sebagai teks sebagai kategori dalam praktek keagamaan masyarakat dan bukan kategori dalam hermeneutika (Hanafi 191995a:417;1997 23-30).
Desakralisasi teks-teks suci, termasuk Al-Quran tersebut menciptakan hubungan-hubungan simetris antara Al-Quran, kesadaran, dan realitas, sebagai antitesa hubungan-hubungan struktural dalam hermeneutika Al-Quran klasik. Dalam hermeneutika Al-Quran klasik, teks atau Al-Quran berada di puncak dan pusat, sementara realitas tidak dibicarakan secara eksplisit. Gagasan hermeneutika Hanafi meletakkan Al-Quran hanya sebagai salah satu sumber pemahaman terhadap teks, selain kesadaran dan realitas. Al-Quran dengan demikian bukan lagi pusat (center) atau inti (core) dari segala jenis pengetahuan sebagaimana diyakini secara tradisional, tapi hanya merupakan kutub pinggiran (periphery) dari kutub-kutub pemahaman yang lain, yakni kesadaran eksperimental dan realitas sejarah di mana manusia hidup dan berjuang.
Kedua, kritik objektivisme. Hermeneutika pembebasan Al-Quran semenjak awal berkaitan metode penafsiran dengan tujuan praksis. Oleh karena itu, ia selalu memiliki kepentingan yang terarah pada transformasi sosial. Dengan maksud ini, penolakan terhadap eksistensi kepentingan dalam penafsiran tidak mungkin terelakkan.
Hermeneutika Al-Quran yang bersifat sosial dari Hanafi memang tidak berpretensi objektivistik sebagaimana yang di temukan pada beberapa hermeneutika Al-Quran kontemporer seperti dalam pemikiran Fazlur Rahman, Abû Zayd, dan Arkoun. Dalam pemikiran beberapa teoretikus yang disebut belakangan, penafsiran dilakukan untuk memperoleh makna orsinal dari teks. Makna semacam itu ditelusuri melalui bahasa teks dan maknanya dalam sejarah (sabab an-nuzûl) (Rahman 1985:6-8; Adnan Amal 1994:189-220) atau melalui berbegai pendekatan lain agar teks-teks Al-Quran dapat berbicara sendiri secara jujur di hadapan penafsir (Arkoun 1997:35-36).
Pendirian semacam ini tentu saja tidak dapat diterima Hanafi begitu saja, sebab pencarian makna sejati teks mustahil dilakukan. Tidak saja karena jarak waktu dan ruang telah demikian jauhnya, namun yang lebih penting lagi penafsiran selalu dipengaruhi oleh posisi penafsir, posisi teks, kondisi sosial, dan konteks kebudayaan di mana Al-Quran ditafsirkan (Hanafi 1988:536-9). Dalam bahasa Gadamer, manusia selalu dipengaruhi oleh prasangkanya tentang teks.
Implikasi pendirian Hanafi tersebut tidak ada lagi obsolutitas dalam wilayah penafsiran. Setiap interpretasi mengalami relativisasi sesuai konteks penafsirannya. Dengan kata lain, yang absolut adalah relativitas itu sendiri. Kalaupun ada yang hal-hal yang dianggap absolut dan universal, sama sekali bukan berasal dari hasil dan proses penafsiran, akan tetapi menyangkut nilai-nilai tertentu yang menjadi prinsip penafsiran. Nilai-nilai tersebut merupakan prinisp-prinsip pradigmatis yang dalam hermeneutika filosofis disebut sebagai “dimensi universal dari hermeneutika”. Hanafi menjabarkannya dalam empat kategori: intensionalitas, kontinuitas tradisi, logika bahasa, dan situasi awal (Hanafi 1988:540-43).
Hassan Hanafi dalam hal ini bermaksud menghindari segala macam klaim objektivitas. Menurutnya, semua penafsiran mengandung sisi ideologisnya sendiri-sendiri. Penafsiran dalam kapasitasnya sebagai instrumen kepentingan selalu merefleksikan pertarungan struktur sosial dalam masyarakat antara kelas bawah, menengah, dan atas (Hanafi 1989c:117-9). Setiap penafsiran dianggap mengandung maksud dan kepentingannya sediri-sendiri, sehingga penafsiran yang mengklaim dirinya bebas nilai dan kepentingan, justru tidak signifikan sama sekali (cf. Wolff 1991:189). Bahkan klaim objektivitas justru dianggap menyembunyikan kepentingan-kepentingan yang disusupkan oleh tekanan “kekuasaan” realitas di mana ia berpijak.
Alih-alih membela objektivitas, Hanafi justru bermaksud mengekplisitkan subjektivitas dan kepentingan yang menjadi tujuan hermeneutika dan penafsirannya. Eksplisitas semacam ini menjadi penting karena berfungsi sebagai pendasaran dan tujuan hermeneutika pembebasan Al-Qurannya. Dalam hermeneutika Al-Quran, eksplisitas tersebut mengarahkan pembicaraan bukan pada benar-salahnya sebuah penafsiran dalam pengertian yang hakiki, tapi pada bagaimana sebuah argumen dibangun, disanggah atau didukung, berkaitan dengan bagaimana hubungan kebenaran dengan realitas. Hal ini berarti bahwa penafsiran sangat terkait dengan fungsionalitas teks dan bukannya pembicaraan teks yang melulu objektivistik.
Sampai di sini, saya akan bertanya pada Saudara, “Apakah Hanafi belum istimewa juga?”*

[Ilham B. Saenong adalah Mahasiswa Program Magister Antropologi FISIP Universitas Indonesia dan Sarjana Teologi Islam dengan spesialisasi Ilmu Tafsir dari IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta (2000). Bukunya yang telah dipublikasikan adalah Hermeneutika Pembebasan: Metodologi Tafsir Al-Quran menurut Hassan Hanafi (2002). Kini sedang meneliti Gerakan Buruh.]



DAFTAR PUSTAKA
Abû Zayd, Nashr Hâmid, Naqd Khitâb ad-Dîni. Kairo: Sinâ lî an-Nasyr, 1992.
_____, Mafhûm an-Nashsh: Dirasah fî `Ulûm al-Qur`ân. Beirut: Al-Markaz ast-Tsaqâfî al-`Arabî, 1994.
Amal, Taufik Adnan, Islam dan Tantangan Modernitas. Pemikiran Hukum Fazlur Rahman. Bandung: Mizan, 1994.
Arkoun, M, Berbagai Pembacaan Al-Quran, terj. Machasin. Jakarta: INIS, 1997.
Bertens, K, Filasafat Barat Abad XX: Inggris-Jerman. Jakarta: Gramedia, 1983.
Bleicher, Josef, Contemporary Hermeneutics: Hermeneutics as Method, Philosophy and Critique. London: Routledge & Kegan Paul, 1980.
Boom, Maren van den, “From Dogma to Revolution”, Exchange, vol. 18 no. 54, 1989.
Crasnow, Ellman, “Hermeneutics” dalam Flower, Roger (ed.) A Dictionary of Modern Critical Terms. New York: Routledge and Paul Kegan, 1987.
Engineer, Ali Asghar, Islam and Liberation Theology. New Delhi: Sterling Publishers Private Limited, 1990.
Esack, Farid, Qur`an, Liberation and Pluralisme: An Islamic Perspective of Interreligious Solidarity against Oppression. Oxford: Oneword, 1997.
Grondin, Jean, Introduction to Philosophical Hermeneutics. Yale: Yale University Press, 1994.
Hanafi, Hassan, At-Turâts wa at-Tajdîd: Mauqifunâ min at-Turâts al-Qadîm. Kairo: al-Markaz al-`Arabî, 1980.
_____, Dirâsât Islâmiyyah. Kairo: Maktabah Anglô Mishriyyah, 1981.
_____, Qadâyâ Mu`âshirah: Fî Fikrinâ al-Mu`âsir, vol. 2. Beirut: Dâr at-Tanwîr, 1983.
_____, Dirâsât Falsafiyyah. Kairo: Maktabah Anglô Mishriyyah, 1988.
_____, Min al-`Aqîdah ilâ ats-Tsawrah: al-Muqaddimah an-Nazhariyyah, vol. 1. Kairo: Maktabah Madbûlî, 1989a.
_____, Ad-Dîn wa ats-Tsawrah fî Mishr 1956-1981: Al-Ushûliyyah al-Islâmiyyah, vol. 6. Kairo: Maktabah Madbûlî, 1989b.
_____, Ad-Dîn wa ats-Tsawrah fî Mishr 1956-1981: Al-Yamîn wa al-Yasâr fî al-Fikr Ad-Dînî, vol. 7. Kairo: Maktabah Madbûlî, 1989c.
_____, Dialog Agama dan Revolusi, terj. Tim Pustaka Firdaus. Jakarta: Pustaka Firdaus, 1991a.
_____, Muqaddimah fî `Ilm al-Istighrâb. Kairo: Dâr al-Fanniyyah, 1991b.
_____, “Apa Arti Kiri Islam” dalam Kazuo Shimogaki (ed.) Kiri Islam, terj. M.I. Azis dan M.J. Maula. Yogyakarta: LKIS, 1994.
_____, Islam in the Modern World: Religion, Ideology, and Development, vol. 1. Kairo: Anglo-Egyptian Bookshop, 1995a.
_____, Islam in the Modern World: Tradition, Revolution, and Culture, vol. 2. Kairo: Anglo-Egyptian Bookshop, 1995b.
_____, Humûm al-Fikr wa al-Wathan: At-Turâts wa al-`Ashr wa al-Hadâtsah, vol. 2. Kairo: Dâr Qubâ`, 1997.
_____, Hiwâr al-Ajyâl. Kairo: Dâr Qubâ`, 1998.
Hanafi, Hassan dan M. Âbid al-Jâbirî, Hiwâr al-Masyriq wa al-Maghrib. Beirut: Maktabah Madbûlî, 1990.
Harb, `Alî, Naqd an-Nashsh. Beirut: Al-Markaz ast-Tsaqâfî al-`Arabî, 1995.
Harvey, Van. A., “Hermeneutics” dalam Mircea Eliade (ed.) Encyclopedia of Religions, vol. 6. New York: Macmillan Publishing Co., 1987.
Ichwan, Moch Nur, A New Horizon in Quranic Hermeneutics: Nasr Hamid Abu Zaid Contribution to Critical Quranic Scholarship. Tesis Master tidak diterbitkan. Leiden: Leiden University, 1999.
Mayer, Tom, “On Marxism”, dalam H. Etzkowits dan Ronald M. Glassman (eds) The Renaissance of Sociologial Theory. Itasca: F.E. Peacock Publishers Inc., 1991.
Muhsin, Amina W., Perempuan dalam Al-Quran, terj. Y. Radianto. Bandung: Pustaka, 1994.
Newton, K.M., Menafsirkan Teks: Pengantar Kritis kepada Teori dan Praktek Penafsiran Sastra, terj. Soelistia. Semarang: IKIP Semarang, 1994.
Rahman, Fazlur, Islam dan Modernitas: Tentang Transformasi Intelektual, terj. Ahsin Muhammad. Bandung: Pustaka, 1985.
_____, Tema Pokok Al-Quran, terj. Anas Mahyudin. Bandung: Pustaka, 1996.
Rahman, Wahidur, “Modernists` Aprroaches to the Quran”, dalam Islam and the Modern Age, Mei 1991.
Rippin, A. Muslims: Their Religious Beliefs and Practices, Kontemporary Period, vol 2. New York: Routledge, 1993.
Syahrûr, M. Al-Kitâb wa al-Qur`ân: Qirâ`ah Mu`âshirah. Damaskus: Jâmi anhâ al-`Âlam, 1990.
Wolff, Janet, “Hermeneutics and Sociology”, dalam H. Etzkowits dan Ronald M. Glassman (eds) The Renascence of Sociologial Theory. Itasca: F.E. Peacock Publishers Inc., 1991.[]

Endnote:
Disajikan dalam diskusi terbatas “Islam Pembebasan” di P3M Jakarta, Jakarta 20 Januari 2003.
[1]Rahman, Major Themes of the Quran (1980), atau yang lebih dahulu ditulis, pengantar hermeneutika al-Quran dalam Islam and Modernity (ditulis 1977-1978 dan terbit 1982); Arkoun, Lecture du Coran (1982); Farid Esack, Quran, Liberation, and Pluralism: An Islamic Perspective of Interreligious Solidarity against Oppression (1997), Abû Zayd, Mafhûm an-Nashsh: Dirâsah fî `Ulûm al-Qur`ân (1994), dan Muhammad Syahrûr al-Kitâb wa al-Qurân: Qirâ`ah Mu`âshirah, (1990).
[2]Lés Metodes d`Exégèse, essai sur La science des Fondaments de la Compréhension, ilm Usul al-Fiqh (1965); L`Exégèse de la Phénomènologie L`etat actuel de la méthode phénomenologique et son application au ph`enomène religiux (1965); dan La Phénomènologie de L`Exégèse: essai d`une herméneutique existentielle à parti du Nouvea Testanment (1966).
[3]Namun demikian, selain rancangan publikasi sebuah karya sistematis mengenai metode penafsiran (manâhij at-tafsîr) (lihat Hanafi: 1980:213-16), kebanyakan pemikirannya mengenai masalah ini merupakan artikel atau makalah yang kemudian ditebitkan dalam beberapa karya bunga rampai. Baru-baru ini (2002), Hanafi menerbitkan min an-Naql ilâ al-Ibdâ` (9 jilid) yang antara lain berisikan persoalan hermeneutika.
[4]Hassan Hanafi merumuskan eksperimentasi at-Turâts wa at-Tajdîd berdasarkan tiga agenda yang saling berhubungan secara dialektis. Pertama, melakukan rekonstruksi tradisi Islam dengan interpretasi kritis dan kritik sejarah yang tercermin dalam agenda “apresiasi terhadap khazanah klasik” (mawqifunâ min al-qadîm). Kedua, menetapkan kembali batas-batas kultural Barat melalui pendekatan kritis yang mencerminkan “sikap kita terhadap peradaban Barat” (mawqifunâ min al-gharb). Agenda terakhir, upaya membangun sebuah hermeneutika pembebasan Al-Quran yang baru yang mencakup dimensi kebudayaan dari agama dalam skala global, agenda mana memposisikan Islam sebagai fondasi ideologis bagi kemanusiaan modern. Agenda ini mencerminkan “sikap kita terhadap realitas” (mawqifunâ min al-waqi) (Hanafi 1980:203-206; Boulatta 1995:96).
[5]Menurut Andrew Rippin (1993:86), kesadaran tersebut berkaitan dengan kepentingan menciptakan model-model penafsiran yang memadai terhadap Al-Quran dengan bantuan kesadaran dan beragam metodologi ilmiah yang tersedia. Dengan instrumen metodologis tersebut, penafsiran Al-Quran diharapkan mampu merasionalkan doktrin yang ditemukan dalam, atau dirujukkan kepada, Al-Quran, dan pada saat yang sama, mendemitologisasi berbagai pemahaman mistis dan metafisik di sekitar penafsiran Al-Quran.
[6]Bandingkan teori validitas interpretasi dari Hirsch Jr. (dalam Newton 1994:59) yang membedakan antara meaning (makna teks yang tidak berubah-ubah) dan significance (arti teks bagi kita sekarang yang dapat berubah-ubah).
[7]Menurut Esack (1997:76), “Setiap kegiatan penafsiran adalah suatu partisipasi dalam proses kebahasaan yang menyejarah, potongan tradisi, dan partisipasi ini terjadi dalam waktu dan tempat yang partikular. Keterlibatan kita dengan Al-Quran juga pasti terjadi dalam penjara ini, kita tidak dapat membebaskan diri dari, dan meletakkannya di luar, bahasa, kebudayaan, dan tradisi.”
[8]Asghar Ali Engineer (1990:130) berpendapat bahwa penafsiran selalu merupakan refleksi keadaan sosial dan latar belakang individual penafsir. Suatu penafsiran, betapapun mengusahakan objektivitas, bisa saja terjebak dalam berbagai bentuk eksploitasi, seandainya ia muncul dalam masyarakat yang feodalistik, patriarkal, dan menindas. “Setiap orang memahami teks menurut latar belakang, posisi, a priori politik, sosial, dan ekonomi. Interpretasi teks berikutnya dilakukan demikian. Sangatlah susah menunjukkan apa sebenarnya yang dimaksud oleh Tuhan. Setiap orang mencoba mendekati maksudnya menurut posisi a priori-nya sendiri. bukanlah tanpa arti (jika) para komentator klasik berkata Allâh a`lam bî ash-shawâb setiap selesai memberikan pendapatnya” (Ali Engineer 1990:130).
[9]Menurut Amina Wadud Muhsin, “Setiap interpretasi berusaha menggambarkan maksud teks, namun serempak dengan itu, mengandung prior text berupa persepsi, keadaan, dan latar belakang dari orang yang membuat interpretasi” (Wadud Muhsin 1994:1). Prior text ini makin tidak dapat terhindarkan sebab ia tidak lain merupakan bahasa dan konteks budaya di mana teks tersebut ditafsirkan. Oleh karena itu, tidak ada penafsiran Al-Quran yang sepenuhnya objektif, mengingat setiap penafsiran memuat sejumlah pilihan yang subjektif sifatnya. Demikian pula, tidak ada penafsiran yang bersifat definitif, pasti, dan memutuskan (Wadud Muhsin 1994:1, 7, dan 125).
[10]Lihat sarkasme Hanafi, “an-nashsh `amal aydyûlujî” (1988:530, 533).
[11]Hanafi tidak menjelaskan apa yang ia maksud sebagai metode regresif-progresif kecuali di bagian akhir tulisannya dijelaskan bahwa “manafsirkan berarti melakukan gerak ganda; dari teks menuju realitas dan dari realitas menuju teks. Pada yang pertama diterapkan prinsip-prinsip lingusitik, sementara yang kedua melalui sensitivitas Zeitgeist (semangat zaman) (Hanafi 1995b: 187)