Dec 4, 2008

Al-Jabiri

Latar Belakang
Seperti halnya pemikir-pemikir Islam kontemporer lainnya, Al Jabiri mengawali pemikirannya untuk menjawab pertanyaan besar ‘Apa yang menyebabkan kemunduran Islam ? dan bagaimana mengatasinya “
Al Jabiri menjawab bahwa penyebab kegagalan kebangkitan Islam adalah karena upaya kebangkitan itu menyimpang dari mekanisme yang semestinya. Islam dan Tradisi
Al Jabiri berkeyakinan bahwa mekanisme kebangkitan diawali dengan seruan berpegang pada tradisi atau kembali pada prinsip-prinsip dasar, tetapi bukan berarti menjadikan prinsip-prinsip dasar masa lalu sebagai landasan kebangkitan yang dihadirkan sebagaimana adanya, tetapi sebagai dasar melakukan kritik terhadap masa kini dan masa lampau yang lebih dekat, kemudian melompat ke masa depan. Prinsip dasar dari masa lalu yang jauh kemudian ditafsirkan dalam bentuk yang sesuai dengan nilai-nilai baru. Konsep ini lahir mengaca terhadap kebangkitan Eropa. Eropa modern bangkit karena mekanisme kembali ke prinsip-prinsip dasar sebagai acuan dan titik tolak dengan cara menghidupkan kembali warisan Yunani – Romawi abad 12 M yang menandai era bangkitnya “humanisme”, revolusi pemberontakan terhadap nilai-nilai gereja abad tengah. Begitupun dengan Islam. Islam datang di daerah Arab saat dilanda kegalauan social dan metafisis, karena perseteruan antara elit Quraisy sebagai penguasa ekonomi dan politik dengan kaum hunafa yang mendakwahkan tauhid. Dengan sendirinya Islam terlibat konflik dengan kekuatan lama dan konservatif. Sementara Islam menyerukan kembali ke prinsip-prinsip dasar yakni agama hanifiah Ibrahim.
Al Jabiri sangat mengecam pengekangan akal baik yang terjadi pada Islam maupun gereja. Proses kritisasinya diawali dengan tradisi. Menurutnya Arab telah melakukan pembeaan tradisi, yakni segala yang secara asasi berkait dengan aspek pemikiran dalam peradaban Islam (akidah sampai tasawuf) dalam rangka mempertahankan identitas diri dari ancaman asing. Tradisi dijadikan tameng untuk berlindung.
Kedua, tradisi mengukuhkan otoritasnya sehinga menimbulkan wacana memori yang semakin jauh dari realitas. Titk tolak pemikiran bukan dari realitas, tetapi memori yang diadopsi dari tradisi sehingga realitas kontemporer dibaca dari perspektif tradisi. Akhirnya produksi dari kedua hal tersebut mengarahkan metode, konsep dan pikiran pendahulu dan persoalannya. Al Jabiri mengungkapkan hal ini sebagai otonomi relatif tradisi. Tradisi sudah kehilangan historitasnya. Tidak lagi dipandang secara objektif. Tuntutan-tuntutan ideologis saat ini pun menentukan jenis dan bagian mana yang harus diikuti. Tradisi menjadi sangat sacral yang dihasilkan oleh ulama’ atau tokoh-tokoh yang jauh dari kesalahan. Semuanya dikaitkan dengan proses mnalar Arab yang dianggapnya sudah mengalami banyak pengekangan.

Nalar Arab
Al Jabiri membandingkan Nalar Arab (Pemikiran Arab) dengan Yunani dan Eropa modern. Nalar dalam kebudayaan Yunani dan Eropa modern berkaitan dengan upaya memahami sebab, yakni pengetahuan, maka makna Nalar Arab dalam bahasa dan konsekuensi juga dalam pemikiran Arab, pada dasarnya berkaitan dengan perilaku dan akhlak. Namun, sangat dimungkinkan bahwa Nalar dalam pemikiran Arab juga merambah wilayah pengetahuan. Dalam pemikiran Yunani –Eropa, akhlak debangun berdasarkan pengetahuan, sedang pada pemikiran Arab pengetahuan dibangun berdasarkan akhlak. Pengetahuan bukan dengan menyingkapkan hubungan-hunungan yang merajut fenomena-fenomena alam satu sama lain, bukan aktivitas dengan alam, tetapi membedakan objek pengetahuan (baik inderawi ataupun social) antara baik dan buruk. Peran akal mengarahkan perbuatan baik dan mencegahnya dari perbuatan tercela, dengan mengacu pada Al Qur’an misalnya Al A’raf:179:

0 comments: